MITRAPOL.com, Garut Jabar – Mantan Kapolda Jabar Dr. H. Anton Charliyan, MPKN, salah satu Penggiat Budaya Nasional menjadi narasumber dalam acara webinar Nitikala yang digelar Garda Kemerdekaan dan Gagak Lumejang. Senin (20/6/23)
Selain Abah Anton, sapaan akrab Dr. H. Anton Charliyan, dalam webinar yang mengambil tema “Rakeyan Sancang titik balik memahami masuknya Islam di Nusantara” hadir sebagai narasumber, Pemerhati Filsafat dan Kebudayaan, Ki Herman Sinung Janutama, Ketua Harian Gagak Lumejang yang juga Dosen UIN Syekh Nurjati Cirebon, Rijal Assidiq Maulana M.Pd. dan sebagai Moderator Firman Sabar.
Dalam kesempatan ini, Abah Anton memaparkan bagaimana Islam masuk ke Nusantara, menurutnya, Islam sudah masuk ke Nusantara sejak zaman Rosulullah, hal ini berdasarkan cerita rakyat Jawa Barat yang begitu kuat, yang sampai saat ini masih mengakar di masyarakat, karena masyarakat Nusantara ini, khususnya masyarakat Sunda, untuk menelusuri sejarah sangat kental dengan tradisi lisan, zaman dulu para Raja atau pembesar kerajaan bila ingin mengetahui sejarah leluhurnya mereka memanggil Juru Pantun.
Lanjut Abah Anton, salah satu pantun yang paling terkenal adalah Pantun Bogor, ini sebagai satu gambaran, betapa kuatnya tradisi lisan di Jawa Barat, dalam pantun itu ada cerita lisan yang begitu kuat tentang pertemuan Prabu Kean Santang dengan Sayidina Ali, hal ini perlu segera disikapi dengan seksama dan kita telusuri kebenaranya secara sciencetifik Ilmiah, apakah ada tidak bukti-bukti Artefak, Peninggalan-peninggalan, tulisan-tullisan, naskah kuno dan lain lain, yang mendukung, yang kemudian tentunya harus dikaji dengan berbagai Multidisipliner ilmu terkait, ujarnya.
Untuk membuktikan tradisi lisan tersebut, kita mencoba mengecek, melalui tim khususnya, tim Gagak Lumejang, ditemukan jejak-jejak maqom yang diduga peninggalan Rakeyan Sancang, salah satunya di Gunung Nagara Sancang Garut dan Maqom Prabu Kean Santang Gadog Garut.
Namun untuk yang di Gadog, kita kesampingkan dulu karena titi mangsanya di abad ke 15 – 16 M, jadi kita fokuskan ke Gunung Nagara dan benar saja di Gunung Nagara tersebut ada 3 Blok makam kuno yang pertama yang paling tinggi satu (1 ) Petilasan Makam tersendiri yang ternyata diduga Makam Rakeyan Sancang, yang ke 2, ada 2 Makam yang diduga Panglima Utama yaitu Embah Ageung Nagara dan Patihnya, yang ketiga, ada 25 Makam yang diduga para Sahabat dan pengikut Setia Rakeyan Samcang antara lain, Sunan Brajasakti dan Istrinya Dewi Rarawisa.
Batu Nisan di Tiga komplek tersebut hampir sama merupakan batu Kendan kuno yang oleh penduduk setempat disebut Batu Sakoja, justru di Blok ke 3 inilah ditemukan nisan bertuliskan huruf Arab Gundul yang diduga ada tulisan Titi Mangsanya yaitu 11 H s/d 119 H, artinya salah satu yang wafat disana lahir 11 H dan meninggal 119 H.
Menurut naskah Wangsakerta Rakeyan Sancang sendiri Lahir sekitar Th 591 M, 20 Th lebih muda dari Rosulullah Th 571 M s/d 634 M, beliau merupakan Putra Prabu Kertawarman Raja Tarumanagara ke 8 dari seorang putri rakyat biasa bernama Arum Honje atau Setyawati anak seorang petani penebang kayu bakar (Wang amet Samidha) di Hutan Sancang di tepi sungai Cikaengan yang bernama Ki Prangdami dan istrinya Nyi Sembada Siwi Candradiwangsa merupakan pernikahan diluar istana sehingga tidak diakui pihak istana Kerajaan.
Adapun pertama kali Rakeyan Sancang pergi ke Tanah Arab sekitar Th 641 M, yang bertujuan untuk bertemu dan menguji Sayidina Ali bin Abi Thalib, kalau menang akan dijadikan sahabat kalau kalah akan dijadikan Guru sebagai mana kebiasaanya di tatar Sunda, namun beliau kalah dan menjadikan Sayidina Ali sebagai Guru dan Panutanya.
Di tahun 644 M s/d Th 650 M beliau ikut syiar Islam untuk menaklukan Tripoli, Cyprus dan Afrika Utara, serta Mesir dan Afganistan, karena ketangkasan dan Kemahirannya dalam berperang, beliau di juluki Satria dari Negri Hind (Jawadwiva ) yang lebih kuat dari 100 orang Arab.
Kemudian Ketika kembali ke Gunung Nagara mendirikan Kadatuan Suramandiri, disaat itu karena dianggap sebagai ancaman, sehingga Gunung Nagara sempat diserang oleh Sudhawarman Raja Tarumanagara ke 9 adik kandung Kertawarman, tapi berhasil dihalau, bahkan Sang Raja hampir tewas ditangan Rakeyan Sancang dan pasukannya, namun berhasil diingatkan Brajagiri Putra angkat ayahnya yang ada di Tarumanagara, bahwa Raja tersebut masih terhitung pamannya tidak baik sesama saudara saling membinasakan.
Beberapa tahun setelah itu Rakeyan Sancang kembali berangkat ke Tanah Arab ketika mendengar Sayidina Ali dianiyaya. Namun kesempatan tersebut digunakan oleh Prabu Nagajaya Warman Raja Tarumanagara ke 10, untuk menyerang Kadatuan Sura Mandiri Gunung Nagara sehingga menewaskan hampir seluruh pengikut Rakeyan Sancang yang tinggal di Gunung Nagara, dimana bekas-bekas makamnya pun sampai saat ini masih ada, ratusan bahkan mungkin ribuan makam yang berada di bawah Gunung Nagara.
Ketika Rakeyan Sancang kembali beliau sangat sedih, kemudian untuk syiar selanjutnya beliau membuat Mesjid kecil yang dinamakan Lawang Sanghyang (Gerbang menuju Allah) dengan ukuran 7 X 9 M, didepanya dibuat kamar kecil ukuran 2 X 2,5 M, dengan tiang kayu pohon Kelapa yang beratapkan ijuk di Nangkapaku atau dikenal Pakenjeng (Pake Elmu Ajengan ) dan terakhir bermukim di Pasir Tujuh Puluh.
Setelah itu ajaran beliau dikenal sebagai ajaran Selam Sunda (Islam dari Sunda) yang mensyiarkan tentang Asma Ulhusna sebagai 99 sifat Allah atau dalam bahasa Sunda Allah, Tuhan itu lebih dikenal dengan Hyang /Hwa, sehingga 99 Sifat Allah atau Asmaulhusna tersebut lebih akrab dikenal sebagai sifat para Hyang, sehingga kawasan tersebut selanjutnya di kenal sebagai kawasan para Hyangan atau sekarang lebih populer sebagai Priangan.
Semua cerita di atas selain dari naskah Wangsa Kerta diambil dari naskah Babad Sancang. Intinya ternyata bahwa Syiar Islam telah ada, masuk ke Nusantara semenjak zaman Rosul dan para sahabat khususnya melalui Pangeran Rakeyan Sancang yang memang hidup di jaman tersebut.
Adapun hikayat tentang Sribaduga Malik Al Hind justru ditemukan dari beberapa riwayat hadis, Ali binm Abdulah Al Aswari, dari Maki bin Ahmad. RH, Abu Al Qorim dari Abu Syafiq Musyafaq sahabat Rosul yang ikut ke Negeri Hind.
HR : Abu Musa Alm Madini yang berbunyi, bahwa pernah ada seseorang yang bernama Sribaduga Malik Al Hind yang berusia sangat panjang lebih dari 400 tahun, saat itu Rosulullahpun heran dan penasaran sehingga mengutus 10 sahabatnya yakni, Hujaifan bin Yaman, Usamah bin Zaid, Syafinah, Suhaib , Abu Musa Al Ashari, HR : Abu Said Al Hudri dan lain-lain.
Untuk mengecek ke Negri Hind, dan ternyata benar adanya, yang akhirnya Sribaduga Malik Al Hind bertemu menghadap Rasulullah pada saat berusia 460 Th, bahkan sempat memberi cindera mata berupa Jahe dan Tembikar kepada Rosulullah, dan Sribaduga Malik Al Hind berusia sampai 925 tahun, ada juga yang mengatakan meninggal di Tahun 336 H, beliau dikatakan juga berasal dari Negeri Syahabah, Negeri Sauh, Qannuh dan digelari Abdullah imam Al Samuderi (Abdulah dari Negeri Samudera yang banyak Pulaunya atau sekarang dikenal sebagai Negara Archipilago atau Kepulauan ).
Yang panjang Kerajaannya 50 Parsak atau 400 Km, mempunyai ribuan pasukan Gajah dan 120 Ribu Pasukan Tempur. Mencermati Sribaduga dari Negeri Hind, banyak sekali Negeri yang mengaku sebagai Negeri Hind di Timur jauh, ada yang mkengatakan India, ada yang mengatakan Ethiopia karena disebut juga sebagai negeri Habasyah, ada yang mengatakan Nusantara, Nusantara pun ada yang mengatakan Sriwijaya ada yang mengatakan Sunda.
Berbicara Negri Hind bisa banyak Versi tapi ketika lebih specifik digelari Al Samuderi yang berarti Negara yang dikelilingi Samudera atau Archipilago sepertinya lebih cocok dengan Nusantara karena sampai saat ini negeri Kepulauan besar yang ada di Timur Jauh hanya Nusantara, makanya tidak salah ketika zaman kolonial Negara kita dikenal sebagai Hindia Belanda.
Namun ada yang lebih specifik ketika menyebut nama Sribaduga, satu-satunya Raja yang bergelar Sribaduga hanya ada satu-satunya di kerajaan Sunda Galuh Pajajaran, yang jelas tertuang dalam Prasasti Batu Tulis Bogor yang berbunyi, Jayadewata alias Sribaduga Maharaja Raja Resi Ratu Haji ing Pajajaran .
Kemudian berkaitan dengan Pasukan Gajahpun ada prasastinya sebagai Prasasti Airawata Tapak kaki Gajah Kebon kopi Bogor yang menggambarkan Dua Telapak Kaki Gajah yang besar, yang mengisyaratkan penguasa negeri tersebut mempunyai Pasukan Gajah yang kuat dan Banyak, demikian juga dengan Pusat Kota yang berjarak 400 Km, selaras dengan teritori Kerajaan Sunda dari Ujung Kulon sampai Cilacap yang berjarak 400 km.
Dengan demikian Sribaduga Malik Al Hind tidak berlebihan jika kita katakan berasal dari Tatar Sunda Nusantara, sehingga dengan demikian makin menguatkan bahwa Islam masuk dan berkembang di Nusantara memang sejak Zaman Rosulullah masih hidup.
Dan yang lebih menggembirakan lagi Nusantara mempunyai tokoh besar sebagai pendahulu dan penyebar syiar Islam yaitu, Sribaduga Malik Al Hind dan Pangeran Rakeyan Sancang, belum lagi tercatat sahabat-sahabat orang kepercayaan dari kedua tokoh tersebut seperti tercatat ada nama Prabu Boros Ngora di Panjalu, ada Eyang Sempak Waja di Walahir Singaparna Tasik dengan artefak makam kuno muslim kira-kira 1700 makam, ada Syekh Abdulah Rukman di Limbangan Garut yang tercatat dalam wawacan Suryadiningrat.
Lebih jauhnya kita semua harus membentuk team untuk mengadakan penelitian lebih lanjut, karena hal ini merupakan aset sejarah yang luar biasa yang bisa merubah paradigma bahwa penyebaran Agama ini hasil para saudagar asing dari Gujarat yang datang ke Nusantara di abad 10 keatas sampai zaman Wali songo, padahal ternyata sudah ditemukan sejak Zaman Nabi dan Sahabat dengan jelas, hasil tangan tokoh leluhur kita sendiri, yang harus kita perkuat dengan berbagai multi disiplin Ilmu secara ke Indonesian, demikian pemaparan dari Abah Anton Charliyan.
Red