Opini

Peradaban Manusia Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri 

Admin
×

Peradaban Manusia Terhadap Perbuatan Main Hakim Sendiri 

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072

Oleh : Heru Riyadi, SH. MH.
Dosen FH. Universitas Pamulang.

MITRAPOL.com, Jakarta – Main hakim sendiri merupakan suatu fenomena kompleks yang melibatkan aspek hukum, sosial, dan budaya. Main hakim sendiri terjadi ketika masyarakat merasa tidak puas dengan proses hukum yang ada dan mengambil tindakan sendiri untuk menghukum pelaku kejahatan.

Penyebab Main Hakim Sendiri:

– Kurangnya kepercayaan terhadap lembaga hukum : Masyarakat merasa bahwa lembaga hukum tidak efektif dalam menangani kasus kejahatan.
– Perilaku kejahatan yang meresahkan : Masyarakat merasa takut dan tidak aman karena perilaku kejahatan yang meningkat.
–  Ikut-ikutan : Masyarakat terpengaruh oleh aksi main hakim sendiri yang dilakukan oleh orang lain.
– Menghukum pelaku agar jera : Masyarakat ingin memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku kejahatan.

Dampak Main Hakim Sendiri:

– Kekerasan dan korban jiwa : Main hakim sendiri dapat menyebabkan kekerasan dan korban jiwa, baik dari pelaku kejahatan maupun dari masyarakat yang melakukan main hakim sendiri.
– Kerusakan hubungan sosial : Main hakim sendiri dapat merusak hubungan sosial dan memperburuk situasi keamanan di masyarakat.

Solusi:

–  Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat : Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang pentingnya proses hukum yang sah dan adil.
–  Meningkatkan efektivitas lembaga hukum : Meningkatkan efektivitas lembaga hukum dalam menangani kasus kejahatan dan memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku kejahatan.
–  Kerja sama antara masyarakat dan lembaga hukum : Meningkatkan kerja sama antara masyarakat dan lembaga hukum untuk mencegah main hakim sendiri dan meningkatkan keamanan masyarakat.

Salah satu contoh peristiwa yang memilukan beberapa hari lalu terjadi di Pasar Mangu, Boyolali, di mana seorang nenek berusia 67 tahun dikeroyok karena diduga mencuri dua kilogram bawang putih, bukan sekadar cerita kriminalitas kecil. Ini adalah potret buram kemanusiaan kita. Ketika hukum dan empati tercerabut dari akarnya, masyarakat kehilangan rasa dan batas — dan yang tersisa hanyalah kekerasan.

Dalam video yang tersebar luas, tubuh renta sang nenek terlihat berlumuran darah, wajahnya lebam, dan langkahnya gontai menuruni tangga pasar. Semua itu akibat aksi main hakim sendiri yang dilakukan dua petugas keamanan pasar. Sebuah hukuman brutal yang bahkan tak layak diberikan kepada pelaku kejahatan besar, apalagi kepada seorang nenek yang terdesak oleh kemiskinan.

Kemiskinan yang Tak Pernah Cukup Kita Pahami
Kita hidup di negara yang sering memuja slogan “gotong royong” dan “rasa kekeluargaan”, namun dalam kenyataannya membiarkan lansia berjuang sendiri di tengah kerasnya ekonomi. Nenek SA bukan seorang pencuri profesional. Ia adalah pedagang sayur keliling yang setiap hari berusaha mencari nafkah. Dan pada hari itu, ia gagal menahan lapar dan tekanan hidup. Dua kilogram bawang seharga Rp90 ribu menjadi garis batas antara martabat dan rasa malu.

Kita perlu menyadari: mencuri karena kebutuhan adalah refleksi dari sistem sosial yang gagal. Ia bukan sekadar tindak kriminal, tetapi jeritan sunyi dari lapisan masyarakat yang paling rentan. Ketika lansia terpaksa mencuri demi bertahan hidup, seharusnya kita tak hanya bertanya, “Kenapa dia mencuri?” — tapi lebih penting: “Kenapa ia harus sampai mencuri?”

Kekerasan Bukan Solusi
Terlebih Kepada Lansia, tidak ada alasan yang membenarkan kekerasan, terlebih kepada warga lanjut usia. Masyarakat tidak boleh merasa berhak mengambil hukum di tangan sendiri, apalagi menggunakan kekerasan fisik sebagai pelampiasan moral. Jika pelaku pencurian adalah seorang anak kecil, akankah mereka dipukuli juga? Jika pelaku adalah seorang tokoh kaya yang melakukan korupsi, akankah kita berani berlaku sama?

Tindakan dua petugas pasar yang memukuli SA bukan hanya melanggar hukum, tapi melukai rasa kemanusiaan yang paling dasar. Lebih dari itu, kejadian ini menunjukkan betapa mudahnya masyarakat kita menggantikan keadilan dengan amarah, dan menggantikan hukum dengan kekuasaan fisik.

Saatnya Introspeksi Kolektif
Kasus ini harus menjadi bahan refleksi nasional.

Pemerintah daerah harus mempercepat perlindungan terhadap lansia miskin, termasuk menyediakan bantuan pangan, jaminan sosial yang layak, dan pengawasan pasar yang manusiawi. Aparat keamanan pasar harus dilatih tidak hanya dalam aspek keamanan, tapi juga dalam empati dan penanganan konflik secara bermartabat.

Sebagai masyarakat, kita pun harus belajar untuk menahan diri. Tidak semua kesalahan layak dibalas dengan kekerasan. Tidak semua pelanggaran layak ditindak tanpa nurani. Dalam setiap kebijakan, dalam setiap tindakan, dalam setiap komentar media sosial — mari kita kembalikan sisi kemanusiaan kita.

Karena saat seorang nenek dipukuli hanya karena mencuri bawang, yang tercuri sebenarnya bukan hanya bawang itu, tapi juga rasa kemanusiaan kita sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *