MITRAPOL.com, Jakarta — Sejumlah perwakilan masyarakat adat Papua yang tergabung dalam Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) kembali mendatangi kantor Direktorat AMDAL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di kawasan Senayan, Jakarta. Rabu (30/7).
Kedatangan mereka merupakan tindak lanjut atas undangan resmi KLHK tertanggal 25 Juli 2025, terkait agenda mediasi kompensasi dan ganti rugi dari PT Freeport Indonesia. Namun, mediasi yang dijadwalkan pada 31 Juli 2025 itu kembali ditunda secara sepihak tanpa kejelasan.
Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Ketua LMA Tsingwarop, Arnold Beanal, didampingi oleh Sekretaris FPHS Elfinus Omaleng, pengurus FPHS Litinus Niwilingame, dan Kepala Suku Aroanop Serfianus Janampa menyampaikan protes keras atas penundaan tersebut.
“Kami kecewa dan menyatakan protes keras atas penundaan mediasi resmi yang seharusnya menjadi momentum penting bagi penyelesaian kompensasi dan ganti rugi kepada pemilik tanah ulayat di areal tambang PT Freeport Indonesia,” ujar Arnold Beanal.
Menurutnya, FPHS telah mengirimkan surat audiensi sejak Februari 2025 guna menuntut realisasi komitmen sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Menteri LHK Tahun 2023 tentang Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Freeport Indonesia. Dalam SK tersebut, disebutkan secara jelas mekanisme pemberian kompensasi dan ganti rugi kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat yang terdampak langsung kegiatan pertambangan.
“Namun sampai saat ini, komitmen itu belum juga direalisasikan oleh pihak PT Freeport. Kami bahkan sudah datang ke Jakarta sejak 28 Juli 2025 dengan biaya besar dan perjuangan tidak ringan, namun mediasi justru ditunda sepihak karena alasan ketidakhadiran Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan KLHK, Ibu C.H. Nety Widayati,” tambah Elfinus Omaleng.
FPHS menilai, penundaan tanpa kepastian ini mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Mereka mendesak KLHK untuk segera menjadwalkan ulang mediasi dalam waktu dekat dengan jaminan kehadiran semua pihak, termasuk Direktur Utama PT Freeport Indonesia dan CEO Freeport McMoRan.
“Kami menuntut klarifikasi terbuka dari KLHK atas penundaan ini. Bila tidak ada tindak lanjut yang jelas, kami siap menempuh jalur hukum, aksi massa, bahkan menutup operasional tambang Freeport sebagai bentuk perjuangan terakhir,” tegas Serfianus Janampa.
Dalam pernyataan penutupnya, Arnold Beanal berharap Menteri LHK dapat mendengarkan aspirasi masyarakat adat dengan hati nurani dan tanggung jawab sebagai wakil negara.
Pewarta : Desy