MITRAPOL.com, Jakarta – Pengamat sosial nasional, Suryadi Djamil, S.Sos, mengecam keras razia kendaraan berpelat BL asal Aceh yang dilakukan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, di kawasan Langkat baru-baru ini. Ia menilai tindakan tersebut bukan hanya keliru, tetapi juga ilegal dan berpotensi merusak tatanan hukum nasional.
“Pelat nomor adalah produk hukum negara yang berlaku sah di seluruh Indonesia. Menyuruh sopir mengganti pelat BL ke BK atau BB tanpa prosedur mutasi resmi sama saja dengan menabrak hukum,” tegas Suryadi Djamil, alumnus Lemhannas RI 2015, Selasa (30/9/2025).
Menurutnya, registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor (STNK dan TNKB) merupakan kewenangan penuh Polri, bukan pemerintah daerah. Karena itu, langkah Bobby dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang bisa menimbulkan kesan seolah provinsi memiliki hak menentukan kendaraan yang boleh melintas di wilayahnya.
“Ini berbahaya, karena hukum seolah bisa ditafsir sesuai kepentingan lokal. Padahal NKRI berdiri atas kesatuan hukum lalu lintas yang berlaku universal,” tambahnya.
Pembina Petani Organik Indonesia itu juga menyoroti alasan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kerap dijadikan pembenaran oleh Pemprov Sumut. Faktanya, target PAD 2025 justru turun dari Rp7,24 triliun menjadi Rp6,41 triliun atau berkurang 11 persen. Dari jumlah tersebut, 87 persen bersumber dari pajak daerah, terutama pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan (BBNKB).
“Memakai alasan PAD untuk melakukan razia liar jelas tidak bisa dibenarkan. Apalagi belanja fungsi ekonomi Pemprov Sumut malah turun drastis, dari Rp1,81 triliun menjadi Rp1,10 triliun. Ini kontradiktif: ekonomi ditekan, tapi pajak digenjot dengan cara diskriminatif,” kritiknya.
Ia juga mengingatkan, pola kebijakan serupa pernah terjadi saat Bobby menjabat Wali Kota Medan dengan program parkir berlangganan berbasis barcode. Saat itu, warga non-Medan dipaksa ikut skema parkir agar tidak “terusir” dari kota. Program tersebut menuai kontroversi, bermasalah di lapangan, dan hingga kini tidak jelas kelanjutannya.
Lebih jauh, Suryadi menilai razia pelat BL sarat dengan nuansa politik simbolik. Video viral yang memperlihatkan Bobby menghadang kendaraan Aceh dinilai sekadar panggung pencitraan tanpa dasar hukum.
“Ini lebih mirip aksi premanisme politik ketimbang kepemimpinan negara. Tidak ada tindak lanjut administratif, tidak ada mekanisme hukum resmi. Yang ada hanya tontonan murahan untuk kamera,” tegasnya.
Ia memperingatkan, kebijakan diskriminatif semacam ini berpotensi merusak hubungan baik antara Aceh dan Sumut.
“Kalau Aceh membalas dengan menahan kendaraan BK di wilayahnya, apa jadinya? Ini bisa jadi bom sosial yang merusak iklim kebangsaan,” kata Suryadi.
Atas dasar itu, Suryadi meminta Presiden Prabowo Subianto turun tangan dengan memanggil Gubernur Sumut untuk dimintai pertanggungjawaban.
“Negara ini negara hukum, bukan negara kepala daerah. Razia pelat BL adalah blunder administratif sekaligus blunder politik yang mencederai persatuan nasional. Presiden harus bertindak tegas,” pungkasnya.