Oleh: Mohammad Nasir
(Penulis Kehidupan, Mantan Wartawan Harian Kompas, pernah bertugas di Desk Metropolitan)
MITRAPOL.com, Jakarta — Diam-diam mistikus Islam satu ini hampir tiap hari duduk-duduk di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tegal Alur, Jakarta Barat.
Ia sering duduk di bangku panjang, menatap hamparan makam di TPU terbesar di Jakarta Barat ini. Batu nisan yang tebuat dari marmer dan granit memantulkan cahaya ketika diterpa sinar matahari.
Begitu pula di waktu malam ketika bulan purnama, cahaya bulan memantul dari batu nisan. Membentuk khayalan kuburan bagaikan kehidupan kota malam yang temaram.
Sambil mengunyah makanan yang dibeli dari penjual minuman ringan, pikiran sang mistikus itu terus berjalan.
Entah apa yang ia ingin dapatkan sering duduk dan memandangi kuburan? Adakah sesuatu yang dikomunikasikan? Ataukah berbicara sendiri dalam hati? Atau ada yang harus diawasi? Ini lah pertanyaan pokok yang ingin saya sampaikan.
Sebelum saya mengajukan pertanyaan, saya mengamati dulu keberadaan dia dan orang-orang yang beraktivitas di pemakaman itu.
Waktu itu hari Senin, 3 November 2025, saya juga sambil mencari kuburan kawanku Banu Astono seorang wartawan Harian Kompas yang dimakamkan di makam khusus warga yang meninggal terkait Covid-19. Saya ingin berziarah. Beberapa kali saya bertemu dalam mimpi. Kangen rasanya.
Saya ditemani kawanku yang mistikus. Ternyata semua pedagang minuman yang berjualan di dalam TPU tersebut kenal sosok pria yang bernama Nuryaman Ibrahim yang mengantarkan saya itu. Tetapi saya yakin para pedagang belum tahu Nuryaman Ibrahim itu siapa.
Bukan bermaksud menyombongkan diri, saya kenal Nuryaman sejak remaja hingga sekarang umurnya sudah lebih dari setengah abad.
Kami pernah mencari ilmu ruhani bersama-sama. Sambil ngisengin seorang habib yang paling disegani di Jakarta Barat.
Nuryaman itu murid tarekat Naqsabandiyah yang taat dan rajin. Kehidupan sufi ia jalani sungguh-sungguh, sehingga di antara kami mengenal dia sebagai mistikus Islam yang hidup dalam keramaian kota.
Dia merasa beruntung tinggal di Jakarta, wilayah pinggir bagian barat. Dekat kuburan, tempat dia memperoleh rasa sunyi.
Dia menuturkan, rasa sunyi kadang ia rasakan hanya sebentar. Orang-orang yang beraktivitas di kuburan banyak yang datang kepadanya.
Ketika baru melintas di depan deretan gerobak penjual minuman, ia sudah disapa setiap pedagang di kiri dan kanan jalan.
Kehadirannya seperti petugas penjaga makam saja. Ketika baru duduk di bangku panjang, datang salah seorang pria penggali kubur bercakap-cakap, dengannya, lalu datang lagi pembaca doa makam.
Nuryaman yang kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat ini sepertinya tahu semua apa yang terjadi di TPU tersebut. Rencana perluasan tanah makam juga tahu.
“Di sebelah selatan itu tanah warga akan dibebaskan untuk perluasan kuburan. Pemilik tanah ada yang minta bantuan saya,” tuturnya.
Betapa mantapnya pergaulan mistikus ini seperti penguasa TPU Tegal Alur. “Tiap hari, kadang pagi, kadang sore, kadang malam, saya nongkrong di sini,” kata Nuryaman.
Bapak dengan satu anak ini memang rumahnya berlokasi hanya beberapa meter di sebelah barat TPU. Jadi lah TPU menjadi taman bermain.
“Apa yang ingin Anda dapatkan sering bermain di kuburan ini?” kata saya mulai mewawancarainya.
“Tidak ingin mendapatkan apa-apa, kecuali menyaksikan kehidupan dan sekaligus kematian. Kadang-kadang saya jalan-jalan di kuburan sambil olahraga melemaskan kaki. Adem kalau sore duduk-duduk di makam,” tuturnya.
“Mengapa tidak duduk di kafe-kafe yang bertebaran di jalan menuju arah Bandara Soekarno-Hatta? Kan dekat juga?” tanya saya.
“Saya tidak bisa menikmati duduk di kafe. Hati saya tidak nyaman. Bukan soal uang. Suasananya enak di bawah pohon sekitar makam. Di TPU yang rindang ini terasa nyaman di hati,” jawabnya.
“Adakah sesuatu yang dikomunikasikan saat memandangi hamparan makam dengan batu-batu nisan yang berkilau saat terkena sinar matahari?” tanya saya lagi.
“Saya hanya memandang kehidupan, sekaligus kematian. Di sini lah tempat orang-orang berpulang. Ada percakapan batin sendiri. Sulit disampaikan pada orang lain,” katanya lagi.
“Adakah yang menakutkan?” sela saya.
“Takut apa. Tidak ada yang menakutkan. Tidak ada orang meninggal bangkit dari kuburnya, lalu menemui saya,” tuturnya.
“Pernah mendapat gangguan?” tanya saya lagi.
“Meskipun saya ke kuburan petang atau malam hari, tidak ada rasa takut. Itu tuh ada orang sini yang tiap malam tidur di gubuk di kuburan ini, katanya sering ngobrol dengan banyak orang seperti nyata. Tanya saja pada dia,” katanya lagi.
Pengalaman apa yang Anda peroleh dari TPU Tegal Alur?
“Pengalaman yang saya dapatkan dari kuburan ini adalah pelajaran bahwa hidup dalam lingkup sekecil apapun ada persaingan. Pengalaman ini saya sampaikan pada anak saya, untuk bekal mental hidup keseharian,” katanya lagi.
Persaingan apa?
Menurut Nuryaman, di TPU Tegal Alur sering terjadi keributan. Antar penjual bunga ribut karena persaingan.
Antar pembaca doa di atas makam saat keluarga datang berziarah, juga sering ribut, karena rebutan baca doa, rebutan mengantar peziarah. “Di sini sudah diatur, ada aturan main, tapi masih saja ada keributan. Ujung-ujungnya soal uang,” kata Nuryaman.
Apa lagi?
Masih soal uang. Peziarah musti bayar pembesih makam, bayar pembaca doa, beli bunga. “Semua uang itu bukan untuk petugas TPU, tetapi untuk pribadi orang-orang di sini,” katanya.
Lainnya, kata dia, tidak pernah terbayang sebelumnya, di kuburan ini banyak orang berpacaran kalau malam. Mereka tidak takut. Padahal orang-orang umumnya mengatakan suasana kuburan itu menyeramkan di malam hari.
Anehnya pula ada orang yang mengenakan pakaian mirip seragam polisi datang. Kedatangan “petugas” itu bukan untuk menasihati, tapi malah menakut-nakuti, mengancam akan dibawa ke kantor kalau tidak memberi uang kepada “perugas”. Entah mau dibawa ke kantor mana.
Namun ketika orang yang didapati berpacaran mengaku tidak punya uang, handphone di saku bisa diterima “petugas” sebagai pengganti uang.












