MITRAPOL.com, Yogyakarta — Aktivis Hak Asasi Manusia sekaligus Dewan Pembina Constitutional Law Study (CLS), Abdul Haris Nepe, menilai bahwa gerakan mahasiswa kontemporer saat ini mengalami degradasi substansi perjuangan. Menurutnya, praktik aksi anarkis justru berpotensi menggerus dukungan publik terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri.
Pandangan tersebut disampaikan Abdul Haris Nepe dalam diskusi bertajuk “Dilema Gerakan Mahasiswa: Terkuburnya Substansi Tuntutan di Bawah Tumpukan Puing Kerusuhan” yang diselenggarakan oleh CLS Yogyakarta, Jumat, 19 Desember 2025.
Diskusi berlangsung pukul 17.00–19.00 WIB di Café Lehaleha, Jalan Sukun Raya No. 422, Jaranan, Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ini diikuti sekitar 25 peserta yang terdiri dari mahasiswa dan aktivis lintas latar belakang.
Dalam pemaparannya, Abdul Haris Nepe menegaskan bahwa gerakan mahasiswa sejatinya berfungsi sebagai kompas moral bangsa dengan peran strategis dalam menjaga arah demokrasi dan keadilan sosial. Namun, ia menilai gerakan mahasiswa saat ini berada dalam situasi dilematis akibat metode perjuangan yang cenderung reaktif dan destruktif.
“Anarkisme bukan simbol kekuatan gerakan, melainkan tanda kegagalan komunikasi. Ketika ruang publik dipenuhi batu dan api, saat itulah ruang dialog mati,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa tindakan anarkis justru menciptakan jarak antara mahasiswa dan masyarakat sipil. Dampak langsung seperti kemacetan, kerusakan fasilitas umum, serta rasa tidak aman berpotensi mengikis kepercayaan dan dukungan publik terhadap gerakan mahasiswa.
Lebih lanjut, Abdul Haris Nepe menilai bahwa kerusuhan dalam aksi demonstrasi kerap mengaburkan pesan utama perjuangan. Media massa, menurutnya, cenderung menyoroti aspek kekerasan dibandingkan substansi tuntutan, sehingga memberi ruang bagi penguasa untuk mendelegitimasi gerakan tanpa menjawab persoalan kebijakan yang dikritik.
“Isu-isu krusial seperti lingkungan, ekonomi, dan hukum akhirnya terkubur di bawah puing-puing kerusuhan. Ini merupakan kerugian besar bagi perjuangan rakyat,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa sejarah Indonesia lahir dari perdebatan ide dan gagasan, bukan dari kekacauan tanpa arah. Karena itu, gerakan mahasiswa dinilai perlu kembali berpijak pada kesadaran historis dan mengedepankan kecerdasan strategis.
Menurutnya, di era keterbukaan informasi saat ini, data, riset, dan argumentasi menjadi senjata utama perjuangan. Gerakan mahasiswa dituntut bertransformasi dari sekadar pengerah massa menjadi penghasil solusi melalui jalur konstitusional, seperti pengajuan judicial review, penyusunan policy brief, serta pengorganisasian massa yang disiplin dan terarah.
“Kita tidak kekurangan keberanian, tetapi sering kekurangan strategi. Tanpa kecerdasan taktis, demonstrasi hanya akan menjadi ritual tahunan yang melelahkan tanpa perubahan sistemik,” pungkas Abdul Haris Nepe.
Diskusi tersebut juga menghadirkan Landung Jalu Sudarma, Ketua Partai Prima Yogyakarta, yang menekankan pentingnya perjuangan intelektual serta kritik terhadap praktik anarkisme dalam gerakan mahasiswa.












