MITRAPOL.com, Jakarta – Forum Wartawan Kebangsaan (FWK) mendesak pemerintah agar Peraturan Presiden (Perpres) mengenai program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar menjadi payung hukum yang kuat.
Desakan ini muncul menyusul data kasus keracunan yang diduga berasal dari program MBG, yang sejak Januari hingga 30 September 2025 tercatat mencapai 6.517 kasus.
Koordinator Nasional FWK, Raja Parlindungan Pane, menegaskan Perpres harus mengatur secara detail, mulai dari standar gizi, distribusi, hingga mekanisme pengawasan yang transparan.
“Program ini niatnya mulia. Namun, tanpa tata kelola yang jelas, risikonya besar: kerugian anggaran dan masalah kesehatan publik,” ujarnya usai Diskusi MBG di kantor redaksi VOI.id, Jakarta, Rabu (1/10).
Dalam diskusi yang dihadiri sejumlah wartawan senior tersebut, FWK menilai ada sejumlah poin krusial yang tidak boleh terlewat dalam draf Perpres MBG. Di antaranya standar gizi berbasis lokal, sertifikasi kelayakan dapur, transparansi pengadaan, audit administrasi, partisipasi masyarakat, mekanisme pengaduan publik, serta sanksi bagi dapur MBG yang lalai.
Raja mencontohkan, banyak menu uji coba belum memperhatikan gizi mikro seperti zat besi dan vitamin A. “Kalau Perpres tidak tegas, manfaat program ini tidak akan maksimal,” katanya.
Selain itu, masalah pendanaan juga menjadi sorotan. Program MBG membutuhkan anggaran besar hingga triliunan rupiah. FWK menilai tanpa strategi pembiayaan campuran—melibatkan pemerintah pusat, daerah, dan mitra swasta—risiko program berhenti di tengah jalan sangat terbuka.
Data Badan Gizi Nasional menunjukkan sebagian besar kasus keracunan dipicu sanitasi dapur yang buruk. FWK menilai hal ini menjadi peringatan serius bagi pemerintah. “Kalau higienitas tidak diatur secara detail dalam Perpres, kasus serupa berpotensi terulang,” tegas Raja.
FWK menekankan, kritik ini bukan untuk melemahkan program MBG, melainkan agar benar-benar mampu berfungsi sebagai instrumen melawan stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
“Perpres harus benar-benar melindungi rakyat, bukan sekadar dokumen administratif,” tutup Raja Parlindungan Pane.












