Oleh: Rafly Kande
MITRAPOL.com, Banda Aceh – Polemik tambang emas di Aceh kembali menguak persoalan lama mengenai relasi negara dan rakyat. Di satu sisi, Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) melalui pemerintah daerah membentuk tim khusus untuk menertibkan aktivitas tambang ilegal. Alasan yang dikemukakan jelas: penegakan hukum dan perlindungan lingkungan hidup. Pemerintah menilai kegiatan tambang tanpa izin, khususnya yang menggunakan alat berat, merupakan ancaman bagi kelestarian alam serta tata kelola sumber daya alam.
Namun, realitas di lapangan memperlihatkan kisah berbeda. Puluhan warga di Pante Ceureumen, mayoritas ibu-ibu, menolak keras upaya penutupan tambang. Bagi mereka, mendulang emas bukan sekadar pekerjaan, tetapi sumber penghidupan utama. Dari hasil itulah mereka dapat memberi makan keluarga, menyekolahkan anak, bahkan membiayai pendidikan di pesantren. Satu unit alat berat yang dianggap melanggar aturan oleh negara, justru dipandang warga sebagai “sekop raksasa” yang menopang kelangsungan hidup. Perbedaan tafsir inilah yang melahirkan benturan: negara menyebutnya ancaman, rakyat menyebutnya harapan.
Tambang emas di pedalaman Aceh lahir dari keterbatasan ekonomi. Kesempatan kerja formal sangat terbatas, infrastruktur minim, dan pilihan usaha lain hampir tidak ada. Akhirnya, tambang menjadi satu-satunya ruang ekonomi bagi rakyat, meski berstatus ilegal di mata hukum. Lebih jauh lagi, sebagian penambang adalah mantan kombatan yang melihat tambang bukan hanya sebagai pekerjaan, melainkan simbol keberlanjutan hidup pascaperdamaian. Karena itu, kebijakan penutupan mendadak dipersepsikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap janji-janji rekonsiliasi.
Dalam konteks ini, alat berat menjadi simbol perebutan makna. Pemerintah menilainya sebagai wujud industrialisasi liar yang merusak hutan dan sungai, sedangkan masyarakat mengartikannya sebagai sarana produktivitas sehari-hari. Perbedaan cara pandang tersebut menunjukkan adanya jarak lebar antara logika birokrasi dan logika kebutuhan rakyat kecil.
Persoalan semakin kompleks karena isu tambang kerap dikaitkan dengan kepentingan lain, seperti dugaan adanya setoran, perlindungan dari oknum, atau campur tangan pemodal besar. Hal ini memunculkan kecurigaan di kalangan masyarakat: apakah penertiban benar-benar dilakukan demi lingkungan, atau justru membuka jalan bagi kekuatan ekonomi yang lebih besar.
Semua ini memperlihatkan bahwa konflik tambang di Aceh tidak bisa disederhanakan hanya sebagai persoalan legalitas. Yang terjadi adalah benturan antara negara yang berupaya menegakkan aturan dan rakyat yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika dibiarkan berlarut-larut, risikonya sama-sama berbahaya: rakyat bisa kehilangan kesabaran dan melakukan perlawanan, atau lingkungan terus mengalami kerusakan sementara hukum kehilangan wibawanya.
Tambang emas di Aceh pada akhirnya menjadi cermin rapuhnya relasi negara dan rakyat dalam merawat warisan perdamaian. Ketegasan pemerintah memang penting, namun sensitivitas terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat jauh lebih mendesak agar kebijakan tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga menjaga keadilan.