Oleh: Dr. M. Harry Mulya Zein
Dewan Pakar Ilmu Pemerintahan Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI)
dan Pengajar Vokasi Ilmu Administrasi Pemerintahan Universitas Indonesia
MITRAPOL.com, Jakarta — Birokrasi Indonesia selama ini masih berkutat pada persoalan klasik: promosi jabatan yang kerap tidak berbasis kompetensi, lemahnya pembinaan karier, serta rendahnya mobilitas talenta antarinstansi. Situasi ini membuat banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) berpotensi besar tetapi tidak berkembang secara optimal.
Melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII yang dibacakan pada Kamis, 13 November 2025, Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan batas tegas antara ranah militer dan sipil dalam tata kelola pemerintahan. MK menyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak boleh menduduki jabatan sipil, kecuali pada posisi yang terkait langsung dengan tugas kepolisian atau melalui penugasan negara yang bersifat sementara.
Putusan ini mempertegas prinsip netralitas aparat keamanan dan profesionalisme birokrasi. Selama ini, penempatan perwira Polri aktif di jabatan sipil—baik di kementerian, BUMN, maupun lembaga strategis—sering menimbulkan kegelisahan di kalangan ASN yang kompeten namun merasa terpinggirkan. Kondisi tersebut berpotensi menghambat pengembangan karier ASN yang seharusnya menjadi tulang punggung birokrasi negara.
MK menilai, praktik penugasan perwira polisi di jabatan sipil dapat mengaburkan fungsi Polri sebagai alat negara di bidang keamanan, bukan alat kekuasaan. Selain itu, langkah tersebut berpotensi melemahkan sistem merit dan mencederai prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Dalam konteks reformasi birokrasi, putusan ini memperkuat kembali pemisahan fungsi antara lembaga penegak hukum dan aparatur sipil negara. Dengan demikian, jabatan sipil harus diisi oleh ASN melalui mekanisme seleksi terbuka, objektif, dan berbasis kinerja.
Putusan MK ini sejatinya menjadi pengingat bagi pemerintah agar tidak lagi menempatkan aparat penegak hukum pada posisi strategis di sektor sipil secara kelembagaan. Ini penting untuk menjaga profesionalisme, netralitas, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Dalam konteks yang lebih luas, perbincangan tentang manajemen talenta menjadi semakin relevan. M. Ridwan Radief dalam tulisannya “Inkompetensi ASN Merusak Birokrasi” (Kompas, 11 November 2025) menyoroti bahwa sejumlah pemerintah daerah telah mulai menyiapkan rancangan promosi jabatan berbasis manajemen talenta. Setiap ASN akan ditempatkan dalam kotak talenta (talent box) sehingga kepala daerah bisa dengan mudah mengidentifikasi pegawai terbaik untuk mengisi jabatan strategis.
Manajemen talenta ASN merupakan strategi penting untuk membangun birokrasi yang profesional dan adaptif. Pendekatan ini menuntut perubahan paradigma: ASN harus dipandang sebagai aset strategis, bukan sekadar pelaksana kebijakan. Melalui sistem ini, setiap pegawai dipetakan berdasarkan kinerja, kompetensi, dan potensi untuk kemudian dikembangkan melalui Talent Pool.
Prinsip meritokrasi menjadi fondasi utamanya.
Beberapa negara telah membuktikan efektivitas pendekatan ini. Singapura, misalnya, menerapkan Public Service Leadership Programme (PSLP) yang menyiapkan pegawai berbakat untuk menduduki posisi kunci melalui pelatihan intensif lintas sektor. Korea Selatan pun sukses membangun Competency-Based HR System yang menilai ASN tidak hanya dari hasil kerja, tetapi juga kemampuan inovasi dan kepemimpinan.
Indonesia sebenarnya telah bergerak ke arah serupa. Pemerintah tengah mengembangkan Digital Talent Management System dan memperkuat sistem merit melalui Lembaga Administrasi Negara (LAN) serta Badan Kepegawaian Negara (BKN). Namun, tantangannya masih signifikan: budaya birokrasi yang belum sepenuhnya terbuka, politik jabatan di daerah, serta lemahnya komitmen pimpinan dalam menerapkan meritokrasi.
Jika manajemen talenta dijalankan secara konsisten dan berbasis data yang akurat, Indonesia berpeluang mewujudkan birokrasi kelas dunia—birokrasi yang bukan hanya patuh prosedur, tetapi mampu berinovasi, berorientasi hasil, dan berintegritas.
Keberanian politik menjadi kunci memutus rantai lama praktik birokrasi yang stagnan. ASN berprestasi harus diberi ruang untuk berkembang. Kepala daerah dan pimpinan instansi publik harus berani menempatkan individu terbaik di posisi strategis, meskipun mereka bukan bagian dari lingkar kekuasaan.
Manajemen talenta ASN adalah fondasi bagi birokrasi unggul—efisien, berintegritas, dan inovatif. Jika dilaksanakan secara berkesinambungan, ia dapat menjadi mesin penggerak menuju Indonesia Emas 2045: birokrasi yang tidak lagi menjadi beban pembangunan, melainkan lokomotif kemajuan bangsa.










