HukumJakarta

Kuasa Hukum Nelayan Batam Lakukan Kasasi Terkait Dugaan Pencemaran Laut oleh MT Armant ke MA

Admin
×

Kuasa Hukum Nelayan Batam Lakukan Kasasi Terkait Dugaan Pencemaran Laut oleh MT Armant ke MA

Sebarkan artikel ini
Kuasa Hukum Nelayan Batam Lakukan Kasasi Terkait Dugaan Pencemaran Laut oleh MT Armant ke MA
Nelayan Batam Lakukan Kasasi Ke MA

MITRAPOL.com, Jakarta – Tim Kuasa Hukum nelayan Batam, David S. G. Pella SH and Partners telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terkait dengan kasus pencemaran lingkungan laut yang melibatkan kapal supertanker MT Armant yang berbendera Iran.

Kasasi ini ditujukan untuk menantang keputusan Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau No. 80/PDT/2024/PT TPG tanggal 6 Februari 2025, yang sebelumnya memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Batam No. 91/Pdt. G/2024/PN BTM tanggal 29 Oktober 2024.

Permohonan kasasi yang diberi nomor 01/SPK-MA/DSGP-CA/II/2025 ini diajukan oleh delapan perwakilan nelayan Batam sebagai penggugat. Mereka merasa bahwa majelis hakim pada tingkat pertama dan banding telah salah dalam menginterpretasikan hukum serta mengabaikan bukti dampak pencemaran yang diajukan selama sidang.

David S. G. Pella, selaku kuasa hukum, menjelaskan bahwa kasus ini adalah yang pertama di Indonesia terkait pencemaran laut yang diajukan melalui proses gugatan class action oleh komunitas nelayan. Gugatan tersebut dilakukan atas dugaan pencemaran minyak yang timbul akibat aksi ilegal yang dilakukan oleh kapal MT Armant di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

“Kasus ini sangat signifikan karena berkaitan dengan perlindungan sumber daya hayati laut yang menjadi mata pencaharian nelayan. Kami berharap Mahkamah Agung dapat memberikan langkah hukum yang inovatif dan menciptakan yurisprudensi baru dalam isu pencemaran lingkungan laut,” ungkap David di Jakarta, Jumat (12/9/2025).

Kasus ini berawal dari penyitaan kapal MT Armant yang mampu memuat 2,2 juta barel minyak mentah. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,6 juta barel dengan nilai lebih kurang Rp2,5 triliun juga diamankan. Kapten kapal sebelumnya dijatuhi hukuman 7 tahun penjara oleh PN Batam, namun keputusan itu dibuat secara in absentia setelah yang bersangkutan hilang meski berada di bawah pengawasan Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Dalam gugatan class action, 162 nelayan Batam memberikan kuasa kepada delapan wakil mereka untuk menggugat kapten kapal dan pemiliknya. Namun, PN Batam menolak gugatan itu dengan alasan “kurang pihak”, dan keputusan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau.

David menekankan bahwa pencemaran minyak di laut berdampak jangka panjang, di mana kerugian ekologis dan ekonomi baru akan terasa dalam rentang waktu 10 hingga 20 tahun kemudian. “Biota laut yang menjadi tumpuan hidup nelayan akan punah, dan kerugian ekonomi masyarakat pesisir akan muncul bertahun-tahun setelah kejadian,” tuturnya.

Ia juga menyoroti bahwa kasus ini belum mendapat sorotan yang cukup secara nasional. Padahal, menurut David, peristiwa ini adalah momen penting bagi penegakan hukum lingkungan laut di Indonesia, mengingat Selat Malaka adalah jalur pelayaran internasional yang rawan dengan aktivitas ilegal termasuk transaksi minyak.

Selain mengajukan kasasi, pihak nelayan melalui tim hukum mereka juga berencana untuk mengirim surat kepada Kejaksaan Agung dan Bakamla untuk menanyakan keadaan kapal MT Armant yang telah disita, termasuk status muatan yang menjadi barang bukti.