MITRAPOL.com, Sukabumi — Kabupaten Sukabumi menyimpan ironi di tengah limpahan kekayaan alamnya. Meski menjadi salah satu wilayah penghasil energi panas bumi terbesar di Indonesia, kesejahteraan masyarakat lokal masih jauh dari harapan.
Di balik gemuruh mesin pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), potret kemiskinan tetap membayangi kehidupan warga.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Semangat ini kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan desentralisasi fiskal, salah satunya melalui Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor panas bumi.
Instrumen keuangan ini sejatinya dirancang agar daerah penghasil energi merasakan manfaat ekonomi secara langsung. Namun, idealisme tersebut belum sepenuhnya terwujud di Sukabumi.
“DBH seharusnya menjadi kompensasi yang adil bagi daerah penghasil, tetapi di lapangan masih terjadi paradoks. Ratusan miliar rupiah mengalir, namun masyarakat tetap miskin,” ujar pengamat kebijakan publik, Hari Saputra.
Selama lima tahun terakhir, Sukabumi menerima aliran dana DBH panas bumi dalam jumlah besar. Namun, dampaknya terhadap kesejahteraan warga masih sangat terbatas. Di Kecamatan Kabandungan, 86,6% penduduk masih tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Sementara di Kecamatan Kalapanunggal, angka kemiskinan mencapai 80,7%.
Situasi ini menunjukkan dua realitas yang kontras: di satu sisi Sukabumi berkontribusi besar terhadap ketahanan energi nasional, namun di sisi lain warganya masih bergulat dengan kemiskinan dan ketimpangan sosial.
“Inilah tanda tanya besar terhadap efektivitas DBH sebagai instrumen pemerataan ekonomi. Apakah dana tersebut benar-benar menyentuh masyarakat yang membutuhkan?” tambah Hari.
Akar persoalan paradoks ini, menurut kajian akademik, terletak pada lemahnya tata kelola keuangan daerah. Meski telah diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 dan PP No. 55 Tahun 2005, mekanisme pelaporan dan akuntabilitas penggunaan dana masih longgar. Minimnya transparansi memperlebar celah penyalahgunaan anggaran.
Indikasi kuat menunjukkan bahwa DBH tidak optimal dialokasikan untuk program yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat kecil. Dana justru lebih banyak terserap untuk belanja rutin pemerintah daerah ketimbang pembangunan infrastruktur dasar, pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Akibatnya, peningkatan kapasitas fiskal daerah tidak berbanding lurus dengan perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau penurunan angka kemiskinan.
Selain persoalan alokasi, lemahnya tata kelola pemerintahan daerah juga menjadi hambatan serius—mulai dari keterlambatan penyaluran dana dari pusat, koordinasi lintas instansi yang lemah, hingga minimnya partisipasi publik dalam pengawasan anggaran.
“Transparansi dalam konteks DBH seharusnya tidak berhenti pada laporan administratif. Ia harus menjadi sarana kontrol publik dan wujud nyata asas keterbukaan yang menjadi roh good governance,” tegas Hari Saputra.
Kasus Sukabumi menjadi pelajaran penting bagi daerah penghasil sumber daya alam lainnya. Desentralisasi fiskal dan otonomi daerah tidak akan efektif tanpa tata kelola yang bersih dan akuntabel.
DBH panas bumi seharusnya kembali ke tujuan awal: menjadi katalis pengentasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi di wilayah penghasil energi.
Rekomendasi Penguatan Tata Kelola DBH:
- Memperkuat regulasi dengan kewajiban pelaporan publik yang transparan disertai sanksi bagi daerah yang tidak akuntabel.
- Menetapkan prioritas alokasi DBH untuk infrastruktur dasar, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
- Meningkatkan partisipasi masyarakat melalui forum pengawasan yang melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat.
“Tanpa komitmen kolektif dan transparansi penuh, DBH hanya akan menjadi angka dalam laporan keuangan. Padahal, esensinya adalah keadilan fiskal dan pemerataan pembangunan,” pungkas Hari.
Jika tata kelola diperbaiki, paradoks sumber daya di Sukabumi bukan lagi mimpi, melainkan cita-cita yang dapat diwujudkan bersama.