MITRAPOL.com, Jakarta — Psikiater Mintarsih Abdul Latief, Sp.KJ, mempertanyakan proses hukum yang menyertai perkara perdata antara dirinya dan PT Blue Bird Taxi. Menurut Mintarsih, perkara tersebut bermula dari gugatan sesama direktur, Purnomo, sebelum perusahaan melakukan penawaran saham perdana (go public).
“Gugatan diajukan tanpa melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Proses ini saya nilai janggal karena seharusnya ada persetujuan pemegang saham terlebih dahulu,” ujar Mintarsih kepada wartawan di Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jumat (17/10/2025).
Gugatan Awal dan Putusan Pengadilan
Gugatan Purnomo terhadap Mintarsih teregistrasi dalam perkara Nomor 313/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel. Prosesnya berlanjut hingga tingkat kasasi. Salah satu poin gugatan yang dipermasalahkan adalah kewajiban Mintarsih untuk mengembalikan seluruh gaji yang pernah diterima selama bekerja di perusahaan tersebut.
Menurut Mintarsih, dasar gugatan hanya bersumber pada kesaksian seorang sekretaris pribadi Purnomo, tanpa bukti pendukung lain. “Kesaksiannya menyebut saya kurang bekerja, tetapi tidak ada penjelasan atau bukti konkret,” ujarnya.
Dalam persidangan, Mintarsih menghadirkan lima saksi mantan karyawan bagian operasional dan administrasi yang menerangkan dirinya aktif mengelola berbagai aspek perusahaan, mulai dari sistem data, bengkel, pengelolaan suku cadang, hingga manajemen teknologi informasi.
Putusan Final dan Tambahan Ketentuan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2601K/Pdt/2015 tertanggal 21 Januari 2016 menguatkan amar putusan pengadilan sebelumnya dengan denda senilai Rp140 miliar. Putusan ini dinilai final. Namun, menurut Mintarsih, dalam praktiknya muncul sejumlah ketentuan tambahan dari tingkat pelaksana (eksekusi) yang memperluas cakupan amar putusan.
Salah satu ketentuan tambahan tersebut adalah pemanggilan ahli waris Mintarsih melalui surat teguran untuk pelaksanaan pembayaran denda, padahal ahli waris tidak tercantum dalam amar putusan Mahkamah Agung.
Selain itu, Ketua Pengadilan Negeri juga menerbitkan surat pemberitahuan pelaksanaan sita eksekusi, yang menurut Mintarsih dilakukan dalam waktu singkat tanpa proses musyawarah. Tanah yang dikuasai Mintarsih pun diblokir oleh Badan Pertanahan Nasional meskipun tidak ada putusan sita jaminan dalam perkara tersebut.
Gugatan Pencemaran Nama Baik
Mintarsih juga menyinggung adanya gugatan tambahan terkait dugaan pencemaran nama baik akibat pemberitaan media. Ia menegaskan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur hak jawab dan koreksi, sehingga pernyataan fakta di media tidak serta-merta dapat dijadikan dasar gugatan pencemaran.
Upaya Hukum Lanjutan
Saat ini, Mintarsih mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan tersebut. Ia berharap para hakim agung dapat mempertimbangkan aspek keadilan dalam kasus ini.
“Bagaimana jika keluarga hakim mengalami hal serupa? Ini bukan sekadar perkara uang, tapi menyangkut masa depan keluarga,” ucapnya.