MITRAPOL.com, Jakarta — Yayasan Karuna Liberatia Indonesia (YKLI) terus memperkuat upaya perlindungan perempuan dan anak dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO) serta eksploitasi seksual anak.
Ketua YKLI, Diah Permata, menegaskan komitmennya untuk menjalin kolaborasi dengan lembaga swasta internasional guna mempermudah penelusuran pelaku TPPO yang melibatkan lintas negara.
YKLI merupakan organisasi nirlaba yang berkedudukan di Jakarta dan didirikan pada 2022. Yayasan ini sebelumnya bernama Yayasan OUR Rescue Indonesia Raya, sebelum berganti nama pada 2025 sebagai bagian dari perluasan mandat perlindungan terhadap perempuan dan anak, khususnya dalam isu perdagangan manusia dan keadilan sosial yang berpusat pada korban.
Seiring meningkatnya kasus TPPO yang menyasar perempuan remaja dan anak di Indonesia, YKLI bersama Stichting Ibu Indonesia, sebuah lembaga swasta asal Belanda, serta sejumlah mitra lainnya, secara berkelanjutan membahas pemenuhan hak perempuan dan anak.
Fokus pembahasan antara lain terkait kasus adopsi nonprosedural yang diduga terjadi pada rentang tahun 1973–1983, serta dampak kekerasan dan kerentanan yang dialami perempuan pada periode tersebut.
YKLI dan Stichting Ibu Indonesia juga membuka ruang pengaduan bagi para korban di berbagai daerah. Berdasarkan catatan Stichting Ibu Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 350.000 anak di Indonesia yang pernah diadopsi.
Hingga kini, sekitar 100 anak telah berhasil diidentifikasi keluarganya, sementara lebih dari 400 orang lainnya mendaftar untuk ditelusuri asal-usul keluarganya, sebagaimana disampaikan melalui keterangan resmi, Selasa (16/12/2025).
Ketua YKLI, Diah Permata, menyampaikan bahwa yayasan yang dipimpinnya berkomitmen untuk terus menerima laporan dan mendampingi para korban. “Kami cukup terbuka menerima pengaduan. Sejumlah anak telah berhasil dipertemukan dengan keluarganya, dan ratusan lainnya masih dalam proses penelusuran,” ujarnya.
Sementara itu, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) serta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, pada tahun 2024 terdapat 330.097 kasus kekerasan, yang didominasi ranah personal, dengan korban terbanyak berasal dari kelompok anak, remaja, serta perempuan usia produktif.
YKLI juga mengungkapkan bahwa banyak kasus adopsi pada masa lalu diduga melibatkan penculikan atau pemalsuan dokumen, sehingga menyulitkan proses penelusuran identitas korban saat ini.
Pada periode tersebut, tidak sedikit perempuan berada dalam kondisi rentan dan diduga terpaksa menyerahkan anaknya tanpa perlindungan hukum maupun pemahaman yang memadai.
Dalam rangka memperkuat perlindungan korban, YKLI dan Stichting Ibu Indonesia menekankan pentingnya membangun komunikasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk Komnas Perempuan, aparat penegak hukum, dan pemerintah daerah, mengingat adanya dimensi kekerasan terhadap perempuan dalam kasus-kasus tersebut.
Diah Permata berharap, kolaborasi lintas lembaga ini dapat membuka ruang pertukaran informasi, memperluas jaringan advokasi, serta memperkuat proses pencarian keadilan dan rekonsiliasi bagi korban dan keluarganya. Ia juga menilai kerja sama dengan kementerian terkait dan NGO asing yang memiliki visi sejalan akan memberikan dampak signifikan dalam penanganan TPPO.
“Dukungan dari kementerian, lembaga, dan NGO internasional diharapkan dapat memperkuat kolaborasi serta mempermudah penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan eksploitasi seksual anak, sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku TPPO dan kejahatan lintas negara,” tutup Diah Permata.












