Opini

Hak Jawab, Bukti, dan Posisi Media dalam Menyikapi Somasi

Admin
×

Hak Jawab, Bukti, dan Posisi Media dalam Menyikapi Somasi

Sebarkan artikel ini
Hak Jawab, Bukti, dan Posisi Media dalam Menyikapi Somasi
Samsul Arifin, Ketua AMKI Jateng

Oleh: Samsul Arifin, Ketua AMKI Jateng.

MITRAPOL.com, JatengHak jawab merupakan salah satu instrumen penting dalam menjaga keseimbangan informasi di ruang publik. Dalam praktik jurnalistik, hak jawab menjadi jembatan antara kebebasan pers dengan hak setiap warga negara untuk melindungi kehormatan, nama baik, dan martabatnya. Mekanisme ini bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari akuntabilitas media.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memberi landasan yang tegas. Pasal 5 ayat (2) menegaskan:“Pers wajib melayani Hak Jawab.”

Sedangkan Pasal 1 angka 11 mendefinisikan hak jawab sebagai hak seseorang atau kelompok untuk memberikan sanggahan atau klarifikasi terhadap pemberitaan yang merugikan nama baiknya.

Dari rumusan tersebut, hak jawab memiliki dua prasyarat: adanya pemberitaan yang dinilai merugikan, serta kewajiban media memberi ruang kepada pihak yang keberatan untuk menyampaikan tanggapan.

Namun perlu dipahami, hak jawab bukan karya wartawan. Ia ditulis langsung oleh pihak yang merasa dirugikan, sementara media hanya berkewajiban menayangkannya secara proporsional tanpa mengubah substansi. Di sinilah sering terjadi salah kaprah: ada pihak yang meminta media menyusun hak jawabnya, padahal fungsi media hanyalah sebagai fasilitator publikasi.

Hak jawab juga tidak bisa dilepaskan dari aspek pembuktian. Pihak yang merasa dirugikan seharusnya menyertakan data pendukung, baik dokumen, rekaman, maupun pernyataan resmi. Tanpa bukti, hak jawab hanya menjadi klaim kosong dan berisiko menyesatkan. Media yang menyiarkan tanpa kehati-hatian justru bisa terjerat masalah hukum baru.

Kode Etik Jurnalistik Pasal 11 menegaskan: “Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.”

Kata proporsional di sini bermakna hak jawab harus seimbang dengan substansi yang dipersoalkan, tidak melampaui konteks, dan tetap relevan. Media berhak meminta pelengkap sebelum menayangkan bila hak jawab hanya berupa tuduhan tanpa dasar.

Lalu bagaimana jika hak jawab atau somasi diajukan tanpa bukti? Secara hukum, media tetap harus menghormati permintaan tersebut, tetapi tidak serta-merta wajib menayangkan. Prinsip beban pembuktian tetap berada pada pihak pengaju, bukan pada media. Media hanya memastikan agar hak jawab yang dimuat tidak menyalahi fakta atau berubah menjadi sarana fitnah.

Panduan lebih rinci dapat dilihat dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Hak Jawab, yang mengatur bahwa hak jawab harus:

  1. Disampaikan secara tertulis.
  2. Memuat identitas jelas dari pengaju.
  3. Menunjukkan bagian berita yang dianggap merugikan.
  4. Disertai data atau dokumen pendukung.

Dengan aturan ini, media tidak bisa dipaksa menayangkan hak jawab yang hanya berupa klaim tanpa dasar.

Dalam praktiknya, media sebaiknya selalu mendokumentasikan setiap permintaan hak jawab atau somasi, merespons secara resmi, dan meminta kelengkapan bukti. Jika bukti tidak disertakan, media berhak menolak dengan alasan tidak memenuhi syarat. Langkah ini bukan hanya melindungi media secara hukum, tetapi juga menjaga integritas pemberitaan.

Kesimpulannya, hak jawab adalah hak fundamental yang wajib dihormati. Namun ia harus dilengkapi bukti, relevan, dan ditulis oleh pihak yang berkepentingan. Media tidak boleh dipaksa menjadi corong klaim sepihak. Pers yang sehat adalah pers yang terbuka terhadap kritik, namun tetap tegas menjaga integritas dan kebenaran informasi.