Oleh: Raja Pane – Putra Sipirok, Ketua Dewan Redaksi BeritaBuana.com, Koordinator Forum Wartawan Kebangsaan
MITRAPOL.com, Jakarta — Sepuluh hari telah berlalu sejak banjir bandang melanda Kota Sipirok Narobi. Musibah yang mengguncang nurani ini menjadi peristiwa banjir pertama dalam lebih dari seratus tahun sejarah Sipirok—kota yang selama ini berada aman di lereng Gunung Sibualbuali.
Tak pernah terbayangkan bencana sebesar ini bisa terjadi di daerah yang selama ini bebas banjir. Ironisnya, bencana tersebut merenggut nyawa dan memporak-porandakan kehidupan warga.
Solidaritas Warga dan Perantau Mengalir Deras
Gelombang kepedulian untuk para korban datang dari berbagai pihak. Doa, donasi, obat-obatan, makanan, pakaian, selimut, hingga perlengkapan dasar lainnya disalurkan tanpa henti.
IKAPSI (Ikatan Keluarga Alumni Pelajar Sipirok) menjadi salah satu yang paling sigap bergerak. Sehari setelah banjir, penggalangan dana digelar, dan malam itu juga bantuan berupa beras, telur, dan mi instan sampai ke tangan warga.
Di tengah listrik padam, jalan terputus, pasokan gas langka, dan komunikasi terbatas, relawan IKAPSI di Sipirok bekerja layaknya tim darurat: cepat, tepat, dan menyasar langsung ke lokasi-lokasi yang terisolasi.
Melihat kesulitan warga memasak akibat ketiadaan air bersih dan peralatan dapur yang tersapu banjir, pola bantuan pun diubah. Ratusan nasi bungkus disiapkan dan dibagikan setiap hari. Cara ini terbukti lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan makan pagi, siang, dan sore.
Bencana Alam dan Pentingnya Respons Cepat Pemerintah
Bencana memang tak bisa sepenuhnya diantisipasi, sekalipun ada peringatan cuaca. Indonesia pun dikenal sebagai negara rawan bencana—gunung berapi, potensi tsunami, hujan ekstrem, angin kencang, hingga longsor.
Sejak tsunami Aceh 2004, pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sementara di daerah dibentuk BPBD. Tugasnya jelas: respons cepat, terstruktur, dan terkoordinasi.
Karena itu, masyarakat Sipirok mempertanyakan lambannya penanganan BPBD di hari-hari pertama. Padahal lembaga ini sudah berdiri lebih dari dua dekade dan seharusnya siap siaga kapan pun.
Pertanyaan Publik: Di Mana Bupati Tapsel?
Pertanyaan lain yang mengemuka adalah terkait kehadiran Bupati Tapanuli Selatan, Gus Irawan Pasaribu. Banyak warga heran mengapa sosok orang nomor satu di Tapsel itu tidak tampak di Sipirok hingga hari ketiga pascabencana.
Sebagai ibu kota kabupaten, Sipirok mestinya mendapat perhatian pertama. Sebagai pemimpin, kehadiran bupati sangat penting—bukan hanya untuk koordinasi penanganan darurat, tetapi juga untuk memberikan penguatan psikologis kepada warganya yang sedang berduka.
Janji kampanye Pilkada 2024 bahwa ia akan mengerahkan seluruh kemampuan untuk Tapsel seyogianya diwujudkan pada saat-saat genting seperti ini.
Hal serupa juga menjadi sorotan terhadap tokoh senior Tapsel, Syahrul Pasaribu, yang selama kontestasi pilkada sangat aktif turun ke lapangan, namun kini justru jarang terlihat.
Pekerjaan Mendesak: Hentikan Pembalakan Liar
Banjir bandang tidak terjadi tanpa sebab. Salah satu faktor yang patut disorot adalah pembalakan liar dan penggundulan hutan di wilayah Tapanuli Selatan.
Bupati Tapsel perlu segera berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk menghentikan aktivitas illegal logging serta menyelesaikan konflik warga Sipirok dengan perusahaan perkayuan yang terus melakukan ekspansi.
Jika perlu, persoalan ini dilaporkan langsung kepada Presiden. Mengutip kalimat legendaris Gus Dur: “Gitu saja kok repot?”
Sipirok Harus Bangkit
Warga Sipirok Narobi tidak boleh hanya bergantung pada pemerintah. Semangat bangkit dan mandiri harus tetap terjaga, seraya berdoa agar musibah ini menjadi yang pertama dan terakhir.











