Opini

MK Batalkan Presidential Threshold: Era Baru Demokrasi Tanpa Ambang Batas

Madalin
×

MK Batalkan Presidential Threshold: Era Baru Demokrasi Tanpa Ambang Batas

Sebarkan artikel ini
MK Batalkan Presidential Threshold: Era Baru Demokrasi Tanpa Ambang Batas

Jakarta, 04 Januari 2025 M/04 Rajab 1446 H
Oleh : Dadang Rachmat

MITRAPOL.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi salah satu tonggak sejarah dalam sistem demokrasi Indonesia.

Keputusan ini menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau dikenal sebagai “presidential threshold,” yang selama ini dianggap menjadi penghalang partisipasi politik yang lebih inklusif.

Keputusan MK: Sebuah Tonggak Sejarah

Sebelum dibatalkan, Pasal 222 mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden didukung oleh setidaknya 20 persen kursi di DPR RI atau 25 persen suara sah nasional hasil Pemilu sebelumnya.

Ketentuan ini kerap dikritik sebagai penghambat demokrasi karena hanya memungkinkan partai atau koalisi besar untuk mencalonkan pasangan kandidat, mengabaikan peluang partai kecil atau baru yang juga memiliki visi dan program kerja potensial.

Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa ketentuan ini bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai lembaga yang berwenang menguji undang-undang terhadap konstitusi, MK memutuskan bahwa ambang batas tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dengan demikian, setiap partai politik peserta Pemilu kini memiliki hak untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden tanpa batasan suara tertentu.

Implikasi Besar Bagi Demokrasi Indonesia

Pembatalan ini membawa sejumlah implikasi penting bagi sistem politik Indonesia:

  1. Peningkatan Partisipasi Politik: Dengan dihapusnya ambang batas, peluang bagi partai politik kecil dan baru untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden menjadi terbuka lebar. Ini dapat memperkaya pilihan bagi masyarakat dalam menentukan pemimpin nasional.
  2. Kompetisi yang Lebih Sehat: Dalam sistem tanpa ambang batas, kualitas kandidat akan lebih menjadi penentu, bukan sekadar kekuatan politik partai besar. Hal ini mendorong para calon untuk lebih fokus pada program dan visi misi yang relevan bagi masyarakat.
  3. Risiko Fragmentasi Politik: Meski memiliki sisi positif, keputusan ini juga menimbulkan potensi fragmentasi politik. Banyaknya calon presiden dan wakil presiden dapat memperbesar peluang terjadinya polarisasi di tengah masyarakat, terutama jika tidak dikelola dengan baik.

Pro dan Kontra Putusan MK

Keputusan ini menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan. Sebagian besar pihak memuji langkah MK sebagai bentuk penguatan demokrasi yang lebih inklusif.

Namun, tidak sedikit pula yang khawatir bahwa tanpa ambang batas, Pemilu berpotensi menjadi ajang persaingan yang terlalu bebas tanpa filter kualitas.

Para pendukung keputusan ini berpendapat bahwa selama ini presidential threshold telah menciptakan oligarki politik yang mempersempit ruang gerak demokrasi.

Sebaliknya, para pengkritik beranggapan bahwa penghapusan ambang batas dapat memperumit proses Pemilu, termasuk dalam memastikan stabilitas pemerintahan pasca-pemilihan.

Pandangan Pemerintah dan Langkah Selanjutnya

Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa pemerintah menghormati putusan MK ini.

“Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat. Semua pihak, termasuk pemerintah, terikat dengan putusan tersebut tanpa dapat melakukan upaya hukum apa pun,” ujar Yusril dalam keterangannya.

Lebih jauh, pemerintah akan membahas implikasi keputusan ini terhadap pengaturan Pemilu mendatang. Jika diperlukan, revisi terhadap UU Pemilu akan dilakukan untuk menyesuaikan dengan dinamika baru ini.

Pemerintah juga berkomitmen melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk DPR, KPU, Bawaslu, akademisi, dan masyarakat sipil, dalam proses penyusunan regulasi baru.

Harapan untuk Masa Depan Demokrasi

Keputusan MK ini membuka jalan bagi era baru demokrasi Indonesia yang lebih inklusif dan kompetitif. Dengan penghapusan ambang batas, partai politik memiliki peluang yang lebih besar untuk menampilkan kandidat terbaiknya, sementara masyarakat memiliki lebih banyak pilihan dalam menentukan pemimpin yang sesuai dengan aspirasi mereka.

Namun, untuk memastikan keputusan ini membawa dampak positif, diperlukan pengelolaan yang cermat dalam proses Pemilu.

Edukasi politik kepada masyarakat menjadi penting agar mereka dapat memilih berdasarkan kualitas kandidat, bukan sekadar popularitas atau sentimen emosional.

Selain itu, pemerintah dan lembaga terkait perlu merancang regulasi yang mampu mencegah ekses negatif dari banyaknya calon, seperti politik uang atau kampanye hitam.

Dengan langkah-langkah tersebut, demokrasi Indonesia dapat terus berkembang menuju sistem yang lebih adil, inklusif, dan representatif.

Akhir kata, putusan MK yang membatalkan presidential threshold adalah momen bersejarah bagi demokrasi Indonesia.

Ini bukan hanya tentang penghapusan ambang batas, tetapi juga tentang membuka ruang bagi keberagaman politik yang lebih luas.

Ke depan, tantangan terbesar adalah bagaimana semua pihak, dari pemerintah hingga masyarakat, dapat memanfaatkan peluang ini untuk memperkuat demokrasi yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Dengan demikian, harapan akan terciptanya pemerintahan yang lebih representatif dan berkualitas dapat terwujud.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *