MITRAPOL.com, Tegal, Jateng – Kondisi kawasan hutan lindung di kaki Gunung Slamet kian mengkhawatirkan. Salah satu contohnya dengan kejadian yang belum lama ini, yaitu terjadinya tanah longsor di desa Padasari, kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal – Jateng yang diperkirakan menimpa pemukiman warga.
Kejadian tersebut diduga karena sebagian besar hutan tersebut rusak akibat perambahan untuk aktivitas pertanian. Gerakan penghijauan dengan penanaman pohon disertai penegakan hukum yang tegas diharapkan jadi solusi.
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang sudah diberikan amanat untuk mengelola hutan sejak lama. Dimana LMDH mampu mengelola hutan tanpa harus merubah fungsi hutan sebagai penopang ekosistem. Masyarakat yang tergabung dalam LMDH pun merasa dirugikan dengan penebangan hutan jati tersebut.
Padahal jika melihat dari Kemitraan yang dilakukan oleh LMDH dengan perhutani yaitu Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM yaitu suatu kegiatan kerjasama dimana Perum Perhutani memberikan akses kepada masyarakat untuk turut serta dalam melakukan pengelolaan hutan berbasis kolaboratif.
Dalam PHBM tersebut masyarakat diperbolehkan untuk melakukan penanaman tanaman pertanian di areal kehutanan dengan syarat menjaga tanaman pokok kehutanan. selain diperbolehkan untuk melakukan penanaman tanaman semusim tersebut masyarakat juga mendapatkan pembagian hasil dari proses tebangan yang dilakukan oleh Perum Perhutani meliputi tebangan penjarangan dan tebangan habis. Pembagian tersebut yaitu 100% pada tebangan penjarangan awal dan 25% pada tebangan lanjutan dan tebangan habis.
Yang menjadi pertanyaan untuk wilayah hutan produksi yang ada di kecamatan Jatinegara umumnya, desa Padasari khususnya diduga adanya pungutan-pungutan yang secara terkordinir dengan 15 ribu/per satu kwintal nya ataupun 150 ribu/satu tonya, untuk disetorkan kepada pihak perhutani.
Berdasarkan informasi yang dapat dihimpun oleh awak media bahwa setiap warga penggarap lahan Perum Perhutani ini sudah dari dulu ditagih ataupun dipungut uang dan disetorkan kepada pihak Perhutani melalui LMDH sesuai dengan jumlah hasil panen yang didapatkan para penggarap tanah.
Ia pak, kami disini menanam jagung dilahan perhutani pak, hampir 90 persen warganya bertani dihutan, ucap warga yang enggan menyebutkan namanya ini.
Lanjutnya, setiap kami panen memang ditagih 15 ribu per satu kwintalnya, yah kalo satu ton 150 ribu, yang nagihin biasanya pak RT. Kami tidak pernah dikasih kwitansi sebagai bukti uang telah diterima dari kami setiap warga penggarap.
Menggali informasi lebih lanjut dari mantan RT yang dimaksud, membenarkan memang selalu menagih jika sudah panen jagung dan uang tersebut disetorkan kepada LMDH.
Ia betul pak, saya semasa saya menjabat RT dan sampai saat ini masih saya tagih dan setor ke LMDH dan memang tidak ada kwitansi bukti kami setor ke LMDH, ucap mantan RT yang enggan menyebutkan namanya ini. Jumat, 20/9/24.
Yah setoran ini sudah sejak dulu pak, siapapun penggarap lahan perhutani ditagih setiap kali panen jagung, ucapnya.
Di lokasi yang sama, LMDH yang dimaksud mengakui bahwa uang dari setoran warga disetorkan kepada dirinya disetorkan kepada mantri bagian dari perhutani.
Ia pak, semua uang warga yang ditagih oleh kordinator saya setorkan kepada Mantri Perhutani. Yah selanjutnya uang tersebut gak tau kemana, yang jelas itu memang dari dulu ditagihin dijaman sebelum saya jadi LMDH juga sudah ada pak. Ucapnya.
Awak media mencoba menggali informasi selanjutnya dari Mantri yang dimaksud, namun belum mendapatkan keterangan yang jelas, padahal awal dihubungi oleh awak media akan menelpon kembali, sampai pemberitaan ini dipublis tidak ada keterangan yang jelas.
Jadi pertanyaan selanjutnya, uang ini mengalir kemana, apakah memang ke negara atau masuk kantong peribadi? Awak media akan mencari informasi selanjutnya.
Pewarta : RS











