Nusantara

Pasien Miskin Melahirkan di RSUD Palabuhanratu, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Admin
×

Pasien Miskin Melahirkan di RSUD Palabuhanratu, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Sebarkan artikel ini
Pasien Miskin Melahirkan di RSUD Palabuhanratu, Siapa yang Bertanggung Jawab
ilustrasi by google

MITRAPOL.com, Sukabumi Jawa Barat – Kisah pilu kembali muncul dari Kabupaten Sukabumi. Rina Herawati, warga Kp. Ranca Bungur RT 02 RW 04, Kelurahan Palabuhanratu, terpaksa menghadapi kenyataan pahit saat melahirkan di RSUD Palabuhanratu pada 1 Desember 2024.

Berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi, Rina tidak memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) APBD akibat proses pengajuan yang terhenti sejak beberapa bulan lalu.

Hal ini menjadi cerminan nyata dari kesenjangan akses layanan kesehatan bagi masyarakat miskin di wilayah ini.

Menurut keterangan Empi, kerabat Rina, sebelum mengalami kesulitan, Rina memiliki kartu BPJS kelas III prabayar.

Namun, usaha yang menjadi sumber penghasilan keluarganya bangkrut, membuat pembayaran iuran BPJS mandek hingga menunggak.

Upaya Rina untuk mendapatkan keringanan melalui mekanisme rehab BPJS pun tidak membuahkan hasil, karena program ini mensyaratkan pelunasan tunggakan terlebih dahulu.

Dengan kehamilan yang semakin tua, Rina berusaha mengajukan KIS APBD melalui Dinas Sosial dan SLRT Palabuhanratu.

Namun, layanan pengajuan KIS APBD telah ditutup sementara sekitar 4-5 bulan terakhir, membuat Rina tidak memiliki perlindungan kesehatan saat melahirkan.

Saat proses persalinan tidak bisa lagi ditunda, Rina terpaksa masuk ke RSUD Palabuhanratu.

Proses persalinan berjalan lancar, namun tagihan rumah sakit sebesar Rp6 juta menjadi beban berat bagi keluarga Rina.

Melalui kebijakan pihak RSUD yang diwakili Kabid RSUD dan Bu Yeti dari MPP RSUD, tagihan tersebut akhirnya diringankan menjadi Rp5 juta, dengan pembayaran yang dapat dicicil.

Keluarga Rina membayar Rp500 ribu sebagai cicilan awal, sementara sisa Rp4,5 juta masih menjadi tanggungan yang harus mereka lunasi.

Keputusan ini diambil karena Rina tidak memiliki akses ke KIS APBD yang seharusnya membantu meringankan biaya persalinan.

Penutupan sementara layanan pengajuan KIS APBD oleh Dinas Sosial Kabupaten Sukabumi menjadi sorotan utama dalam kasus ini.

Program yang seharusnya menjadi jaring pengaman bagi masyarakat miskin ini terhenti tanpa kejelasan kapan akan dibuka kembali.

Akibatnya, banyak warga seperti Rina yang membutuhkan layanan kesehatan mendesak harus membayar biaya secara mandiri, meskipun kondisi ekonomi mereka sangat terbatas.

Tidak adanya kepastian terkait layanan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai tanggung jawab pemerintah daerah dalam menjamin hak dasar masyarakat miskin.

Mengacu pada Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin juga mengamanatkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin.

Namun, kasus Rina Herawati menunjukkan bahwa implementasi dari peraturan ini belum berjalan optimal.

Penutupan layanan pengajuan KIS APBD justru bertentangan dengan semangat perlindungan sosial yang diamanatkan undang-undang.

Kasus ini memunculkan sejumlah pertanyaan penting: Mengapa layanan KIS APBD ditutup sementara tanpa solusi alternatif?

Bagaimana pemerintah daerah memastikan masyarakat miskin tetap mendapatkan akses kesehatan di tengah kondisi seperti ini?

Masyarakat Kabupaten Sukabumi dan para aktivis mendesak pemerintah, khususnya Dinas Sosial, untuk segera membuka kembali layanan pengajuan KIS APBD.

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan perhatian khusus kepada kasus-kasus mendesak seperti Rina Herawati.

Penyelesaian tagihan rumah sakit, pemberdayaan ekonomi keluarga miskin, dan penyediaan akses kesehatan yang merata harus menjadi prioritas utama.

Kasus Rina hanyalah salah satu dari banyak cerita serupa yang terjadi di Sukabumi. Pemerintah daerah perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan program sosial seperti KIS APBD dapat beroperasi tanpa hambatan.

Selain itu, peningkatan sistem pendataan dan percepatan birokrasi dalam penanganan pengajuan bantuan sosial harus dilakukan untuk mencegah kasus serupa di masa depan.

Pada akhirnya, hak atas kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara.

Kini, masyarakat menanti langkah nyata dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk menyelesaikan persoalan ini.

Akankah keprihatinan masyarakat dijawab dengan tindakan konkret?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi bukti sejauh mana komitmen pemerintah dalam melindungi warganya yang paling rentan.

 

Pewarta : RR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *