MITRAPOL.com, Tabngerang Banten – Masyarakat pemilik lahan yang terkena pembebasan untuk proyek jalan tol Kamal – Teluk Naga – Rajeg (Kataraja) di Desa Pekayon, Kecamatan Sukadiri, Tangerang menolak nilai ganti rugi yang dianggap terlalu rendah.
“Ini memiskinkan rakyat, bukan mensejahterakan rakyat. Malah memperpuruk karena dari semula mempunyai pencarian tetap dari menaman padi di sawah jadi kehilangan karena tanahnya jadi jalan tol dengan ganti rugi yang rendah,” kata M. Suryadinata, salah satu pemilik lahan yang terkena proyek jalan tol Kataraja, di sela-sela Musyawarah Penetapan Bentuk Ganti Kerugian Pembangunan Ruas Jalan Tol Kamal – Teluk Naga – Rajeg di Kantor Desa Pekayon, Kecamatan Sukadiri, Tangerang, Rabu (13/11/2024).
Hadir dalam musyawarah tersebut Camat Sukadiri Ahmad Hafid, Kepala Desa Pekayon Suaryo, Wakil Kementerian PU, Najih, Wakil Kantor ATR/BPR Kabupaten Tangerang, Didi, Wakil Provinsi Banten, Nugroho, staf Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang menjadi penilai atau appraisal nilai tanah untuk jalan tol, perangkat Desa Pekayon dan 22 orang pemilik lahan atau yang mewakili yang terkena proyek jalan tol.
Suryadinata menghitung tanah miliknya dihargai hanya Rp118.000 per m2 setelah dia menghitung nilai ganti rugi yang disodorkan oleh KJPP pada pertemuan tersebut. Pemilik lahan yang lain juga mendapatkan penepatan harga yang sama per meter perseginya.
Selain Suryadinata, semua pemilik lahan yang lain atau anggota keluarga yang mewakili juga menolak nilai ganti rugi yang ditetapkan KJPP. Sikap tersebut mereka sampaikan dalam form yang disediakan Desa Pekayon.
Najih mengatakan, sesuai dengan UU No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, harga yang ditetapkan KJPP mutlak tidak bisa ditawar. Masyarakat pemilik lahan yang tidak menerima nilai ganti rugi bisa mengajukan keberatan nilai ganti rugi ke Pengadilan Negeri Tangerang. “Nanti KJPP menjelaskan ke pengadilan.”
Pemilik lahan yang terkena jalan tol yang tercatat di daftar undangan musyawarah yang diterbitkan Kantor ATR/BPN Kabupaten Tangerang selain Suryadinata adalah H. Sukri, Siti Mudiroh, Madias, Muhibah, Yordia Martadinata, Aldwin Martadinata, Ambih, Virly Martadinata, Endi, Marsiah, H. Muhayar, As Bt Oton, Saptinah, Sarta, Mariyah, Saniman, Saptinah, Marta, Asdi, Majar, dan As Bt Oton.
Muhibah memilih tanahnya tidak terkena proyek jalan tol jika nilai ganti ruginya rendah karena lebih menguntungkan baginya menanam padi yang bisa dinikmati hasilnya setiap kali panen.
Sawah di Desa Pekayon merupakan sawah irigasi teknis dengan ketersediaan air sepanjang tahun dari Sungai Cisadane.
Oman yang mewakili keluarga Marsiah, mengatakan dalam aplikasi pesan bahwa nilai ganti rugi yang ditetapkan bukannya mensejahterakan rakyat tapi memaksa rakyat supaya lebih kebelangsak.
Sementara pemilik lahan yang lain secara kor menyatakan kaget dengan penetapan nilai ganti rugi yang rendah tersebut.
Ahmad Hafid sangat mengharapkan warganya mendapatkan ganti untung, bukan ganti rugi. Namun dia mengaku, sesuai ketentuan baru mengenai penetapan nilai ganti rugi lahan, pihaknya tidak dilibatkan lagi. “Yang menetapkan pihak ketiga, KJPP,” ujarnya.
Staf KJPP beralasan nilai ganti rugi lahan yang ditetapkan pihaknya berdasarkan rata-rata nilai pasar tanah di wilayah Pekayon. “saya sudah tanya ke mana-mana, nilainya sekitar itu [Rp118.000 per m2],” ujarnya.
Suryadinata menganggap nilai ganti rugi KJPP tidak wajar jika diukur dari jarak Desa Pekayon dengan Jakarta yang menjadi barometer ekonomi nasional.
Sementara nilai jual pasar tanah di daerah yang lebih jauh dari Jakarta sudah lebih tinggi. “Harganya terlalu jomplang.” Dia menyebutkan harga tanah di Rumpin, Bogor, berdasarkan keterangan orang yang ditemuinya yang baru membeli tanah di daerah itu, harganya sudah mencapai Rp500.000 per m2.
Berdasarkan penelurusan melalui aplikasi Google Map, jarak Desa Pekayon dengan wilayah Jakarta yang terdekat seperti Kamal sekitar 23 km. Selain itu, Pekayon juga dekat dengan Bandar Udara Soekarno-Hatta. Sementara itu, jarak Rumpin dengan daerah Jakarta terdekat sekitar 40 km.
Menurut Suryadinata, pemilik tanah tidak menolak adanya proyek jalan tol karena memahami bahwa pembangunan tersebut untuk kepentingan umum. Namun dengan nilai ganti rugi yang rendah, dana tersebut tidak cukup sebagai kompensasi dari kehilangan mata pencarian dan menopang hidup ke depannya.