MITRAPOL.com, Ciamis – Pada 9 September 2024, di Karang Kamulyan, Ciamis, dilaksanakan peringatan Milad ke-15 Gong Perdamaian Dunia (GPD) Kuta Galuh Purba.
Acara tersebut dihadiri oleh Plt Bupati Ciamis, Engkus, beserta jajaran Forkopimda Pemda Ciamis, Dandim, Kapolres, Kejaksaan, serta para tokoh adat dan budaya Jawa Barat, tokoh agama, dan perwakilan adat dari berbagai daerah seperti Jawa, Madura, Palembang, dan Papua.
Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa Gong Perdamaian Dunia ditempatkan di Karang Kamulyan? Menurut Anton Charliyan, tokoh budaya Sunda dan mantan Kapolda Jabar, yang juga menjadi penggagas berdirinya GPD Karang Kamulyan pada 9 September 2009, penempatan ini memiliki alasan sejarah yang kuat.
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan cerita rakyat dan Naskah Wangsakerta, Karang Kamulyan adalah lokasi bersejarah di mana dua kerajaan besar Nusantara, yakni Kerajaan Sunda Galuh yang dipimpin oleh Prabu Ciung Wanara dan pasukan Mataram Kalingga Utara di bawah pimpinan Raden Sanjaya, hampir terlibat dalam perang besar.
Namun, berkat peran penting para resi Sunda Galuh yang dipimpin oleh Resi Demunawan, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai melalui perjanjian damai yang dikenal sebagai Sawala Mapulunggrahi Mitrasamaya.
Anton Charliyan, yang kini dikenal sebagai Abah Anton, menjelaskan bahwa kejadian damai tersebut merupakan salah satu contoh bagaimana leluhur Sunda Galuh lebih mengedepankan perdamaian dibanding peperangan.
Sementara banyak kerajaan di dunia membanggakan kekuatan militer mereka, Sunda Galuh justru menonjolkan konsep Cinta Damai sebagai landasan kebesaran kerajaannya.
Salah satu larangan keras bagi para raja Sunda Galuh adalah Gotra Yudha, atau perang saudara. Pelanggaran terhadap larangan ini bisa menyebabkan seorang raja diturunkan dari takhta.
Maka, tidak mengherankan jika Sawala Mitra Samaya Mapulunggrahi yang terjadi pada tahun 739 M di Karang Kamulyan dianggap sebagai tonggak awal yang mengakar dalam tradisi perdamaian Nusantara, sehingga penempatan Gong Perdamaian Dunia di lokasi ini sangatlah tepat.
Adapun isi perjanjian damai tersebut mencakup beberapa prinsip utama, seperti tidak boleh bermusuhan, menghindari serangan terhadap sesama keluarga, menyelesaikan perselisihan melalui musyawarah, mengedepankan semangat kekeluargaan, saling membantu, dan menjaga hubungan yang harmonis tanpa dendam.
Abah Anton menekankan bahwa nilai-nilai perdamaian ini bukan hanya tercatat dalam naskah-naskah kuno, tetapi juga diabadikan dalam prasasti-prasasti seperti Prasasti Astana Gede Kawali, yang memuat ajaran penting tentang membangun kejayaan melalui perdamaian dan kerendahan hati.
Filosofi “Tata Tentrem Kerta Raharja”,yang berarti kedamaian akan melahirkan kesejahteraan, juga menggambarkan konsep ini.
Anton Charliyan berharap bahwa generasi penerus, terutama kaum milenial, dapat benar-benar memahami, menghargai, dan mengamalkan nilai-nilai perdamaian yang diwariskan oleh leluhur Sunda.
“Dengan begitu, jika ada pihak yang menyebabkan kerusuhan atau radikalisme, itu bukanlah karakter asli masyarakat Sunda atau Nusantara,” kata dia.
Ia menutup dengan mengingatkan bahwa siapa pun yang mencoba mengganggu perdamaian di Tatar Sunda dan NKRI sebaiknya meninggalkan tanah ini. (*)
Langsung ke konten











