Banjarmasin, 19 Agustus 2024/14 Safar 1446
Hendry Ch Bangun (Ketua Umum PWI Pusat 2023-2028)
MITRAPOL.com – Baru-baru ini, banyak anggota dan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), bahkan pihak luar, menghubungi saya terkait berita tentang sebuah kegiatan yang disebut sebagai Kongres Luar Biasa (KLB) PWI yang digelar pada Minggu, 18 Agustus 2024, di sebuah hotel di kawasan hiburan malam di Jakarta.
Mereka menanyakan tentang klaim adanya ketua umum dan ketua dewan kehormatan yang dihasilkan dari acara tersebut.
Saya dengan tegas menyatakan bahwa “Tidak ada yang namanya kongres luar biasa. Syarat-syarat untuk mengadakan KLB jelas tercantum dalam Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD PRT) PWI. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka kegiatan tersebut tidak sah dan bukan merupakan kongres luar biasa.”
Lebih lanjut, saya menekankan, “Kalau hanya sekadar berkumpul atau berbincang-bincang, itu boleh saja. Tapi yang pasti, itu bukan kegiatan resmi yang memiliki kewenangan untuk memilih pimpinan tertinggi organisasi PWI.”
Saya kemudian mengutip persyaratan untuk mengadakan KLB, yang diatur dalam Pasal 28 PRT. Pasal tersebut menyatakan bahwa KLB hanya bisa diadakan jika diminta oleh sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) dari jumlah PWI provinsi, dengan alasan ketua umum telah menjadi terdakwa dalam kasus yang merendahkan harkat dan martabat profesi wartawan.
Selain itu, KLB hanya berwenang untuk memilih ketua umum baru dan melanjutkan periode kepengurusan, tanpa wewenang untuk mengubah PD, PRT, KEJ, atau KPW.
Namun, karena syarat yang tercantum dalam Pasal 28 PRT sulit dipenuhi, para pelaku yang berusaha untuk mengkudeta Ketua Umum PWI Pusat hasil Kongres 2023 mencoba menggunakan Pasal 10 PRT ayat (7).
Ayat ini menyatakan bahwa jika Ketua Umum berhalangan tetap, maka Pelaksana Tugas ditunjuk dalam rapat pleno pengurus pusat untuk menyiapkan KLB guna memilih Ketua Umum dan Ketua Dewan Kehormatan baru dalam waktu enam bulan.
Tetapi kapan saya dinyatakan berhalangan tetap? Insya Allah, saya masih sehat wal afiat. Saya masih aktif berkantor hampir setiap hari di Sekretariat PWI Pusat di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta.
Saya bahkan lebih sering menggunakan KRL dari rumah karena lebih murah dan cepat, meskipun harus berdiri selama perjalanan sekitar 30 menit, yang kemudian dilanjutkan dengan naik TransJakarta. Sejauh ini, tidak ada masalah kesehatan yang menghalangi tugas saya.
Ada juga yang mengatakan bahwa saya telah diberhentikan sebagai anggota PWI oleh Dewan Kehormatan dan dieksekusi oleh Pengurus PWI Jaya. Namun, mereka lupa bahwa meskipun Dewan Kehormatan berwenang memberikan sanksi kepada anggotanya, keputusan tersebut bersifat rekomendasi, dan pelaksanaannya ada di tangan Ketua Umum PWI Pusat.
Pada periode sebelumnya, sudah terjadi sebuah kejadian di mana Dewan Kehormatan PWI Pusat, yang saat itu dipimpin oleh Ilham Bintang, memutuskan untuk memberhentikan Zulkifli Gani Ottoh. Namun, Ketua Umum PWI periode 2018-2023, Atal S. Depari, tidak menindaklanjuti keputusan tersebut, dan malah menugaskan Zulkifli sebagai Ketua Panitia Pengarah Kongres PWI pada September 2023 di Bandung.
Ini menunjukkan bahwa keputusan Dewan Kehormatan tidak berlaku atau tidak sah jika tidak dijalankan oleh pengurus harian yang dipimpin oleh ketua umum.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 19 ayat (3) PRT yang menyatakan bahwa “Dewan Kehormatan menyampaikan putusan sanksi kepada Pengurus Pusat untuk dilaksanakan”. Dan apabila pengurus pusat tidak melaksanakan putusan sanksi tersebut, keputusan itu harus dibawa ke rapat pleno pengurus yang diperluas, sebagaimana diatur dalam ayat (4).
Rapat pleno yang diperluas sudah dilaksanakan, di mana Ketua Dewan Kehormatan, Sasongko Tedjo, hadir secara fisik dan Ketua Dewan Penasihat hadir melalui Zoom. Dalam rapat itu, disepakati bahwa sanksi pemberhentian terhadap saya dibatalkan. Tidak ada perdebatan yang terjadi selama rapat, meskipun beberapa hari kemudian muncul protes.
Selain itu, PWI Jaya menetapkan pemberhentian saya sebagai Ketua Umum atas rekomendasi Dewan Kehormatan yang cacat, karena ditandatangani oleh Nurcholis Basyairi, yang sudah tidak lagi menjabat sebagai Sekretaris Dewan Kehormatan dalam susunan pengurus baru hasil rapat pada 27 Juni 2024, yang telah disahkan oleh Kemenkumham dengan SK nomor AHU-0000946.AH.01.08.Tahun 2024 pada 9 Juli 2024.
Situasi ini menunjukkan kurangnya pemahaman yang mendalam terhadap PD PRT oleh pengurus PWI Jaya, ditambah lagi bahwa PWI DKI Jakarta belum memiliki Dewan Kehormatan Provinsi yang sah. Keputusan tersebut diambil oleh beberapa orang dalam sebuah rapat yang mereka sebut rapat, yang tentu saja cacat, karena bahan keputusan disodorkan oleh DK Pusat, bukan DK Provinsi.
Menurut Pasal 20 ayat (3) PRT, jika Dewan Kehormatan Pusat menilai saya bersalah, seharusnya mereka meminta DK Provinsi DKI Jakarta untuk memeriksa saya dengan bukti-bukti yang ada atau dengan adanya pihak yang mengadukan saya.
DK Provinsi kemudian memberikan rekomendasi kepada Pengurus PWI DKI Jakarta, yang kemudian diserahkan ke PWI Pusat untuk diserahkan ke Dewan Kehormatan Pusat untuk dirapatkan dan dibuat keputusan. Keputusan tersebut kemudian diserahkan ke Pengurus Harian PWI Pusat untuk dieksekusi oleh Ketua Umum PWI Pusat.
Kesalahan Dewan Kehormatan PWI Pusat juga terjadi ketika menjatuhkan sanksi kepada Mohamad Ihsan, Syarif Hidayatulah, dan Sayid Iskandarsyah tanpa melakukan klarifikasi atau konfirmasi karena mereka berhalangan hadir.
Sampai saat ini, tidak ada permintaan maaf atas kesalahan tersebut. Nama boleh besar, tetapi pemahaman terhadap aturan organisasi harus memadai untuk menduduki jabatan terhormat.
Dengan tidak terpenuhinya syarat bahwa saya berhalangan tetap, saya masih sah sebagai anggota PWI dan tetap menjabat sebagai Ketua Umum PWI Pusat sesuai dengan aturan yang ada, didukung oleh SK Kemenkumham nomor AHU-0000946.AH.01.08 Tahun 2024 tersebut. Oleh karena itu, penggunaan Pasal 10 ayat (7) PRT untuk menggelar KLB tidak sah.
Selanjutnya, syarat bahwa KLB harus didukung oleh setidaknya dua pertiga dari jumlah PWI provinsi, yang berarti minimal diusulkan oleh 26 provinsi—saat ini PWI memiliki cabang di 38 provinsi dan satu cabang khusus di Solo, kota tempat berdirinya PWI pada 9 Februari 1946.
Namun, hingga acara tersebut selesai, syarat itu tidak terpenuhi. Dalam rilis media massa yang disebarluaskan, disebutkan bahwa hanya 21 provinsi yang hadir.
He..he..he. Mereka sendiri yang menunjukkan cacat aturan tersebut, dan itu pun jika benar yang hadir adalah Ketua dan Sekretaris PWI Provinsi.
Dari foto-foto yang dikumpulkan oleh simpatisan PWI, terlihat bahwa yang hadir hanyalah Ketua PWI Maluku Utara, Ketua PWI Sulawesi Barat, Ketua PWI Sulawesi Tenggara, Ketua PWI Jawa Timur, dan Ketua PWI Papua Barat yang masih sah. Selain itu, hadir juga eks Ketua PWI DKI Jakarta, eks Ketua PWI Bangka Belitung, eks Ketua PWI Riau, dan eks Ketua PWI Banten, karena mereka semua sudah diberhentikan oleh PWI Pusat dan sudah ada Pelaksana Tugasnya.
Ada juga yang mengaku mewakili PWI Provinsi, seperti Ketua DKP Kepri, Ketua DKP Jambi, Ketua DKP Sumsel, dan Ketua DKP Lampung, yang sebenarnya tidak memiliki hak suara. Selain itu, ada anggota atau pengurus dari beberapa provinsi yang dalam kongres tidak boleh mewakili provinsi karena bukan kewenangan mereka.
Lebih lanjut, acara tersebut juga dihadiri oleh beberapa penggembira yang datang dari wilayah Jakarta atau Banten, termasuk mantan pengurus. Firdaus, yang merupakan mantan Ketua Bidang Organisasi di era Atal S. Depari, yang kini menjabat sebagai Ketua Umum SMSI, juga hadir.
Pesta sudah usai, namun hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Tidak memenuhi kuorum, tidak sah, dan dilakukan oleh orang-orang yang mengaku pengurus PWI Pusat, padahal sudah diberhentikan.
Entah berapa ratus juta, atau mungkin lebih dari satu miliar, yang dihabiskan untuk menggelar acara yang gagal karena tidak memenuhi syarat sebuah KLB. Saya sudah menduga siapa di balik semua ini, yang
Rela berkorban membelikan tiket, memberikan uang saku, dan menyediakan akomodasi gratis. Namun, biarlah waktu yang menjawabnya.
Dari KLB ini, kesimpulannya sangat jelas. Tidak ada dualisme dalam PWI. Organisasi PWI hanya satu, sesuai dengan SK Kemenkumham nomor AHU-0000946.AH.01.08.Tahun 2024 tertanggal 9 Juli 2024.
Sebelumnya, sekelompok orang yang telah diberhentikan dari PWI telah melakukan audiensi dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, dan berhasil membuat SK Kemenkumham tersebut tidak bisa diakses. Kemungkinan, blokir ini disetujui karena adanya surat resmi yang masuk dan hak subjektif dari Menteri.
Saya sendiri telah mengirim pesan melalui WhatsApp ke Yasonna Laoly, karena sesuai dengan Peraturan Menkumham, jika ada SK yang diblokir dan tidak bisa diakses, seharusnya Kemenkumham memberitahu dan memberikan klarifikasi kepada Pengurus PWI Pusat yang sah.
Namun, Menteri telah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri demi kepentingan segelintir orang. Mungkin ini karena simpati politiknya terhadap salah satu capres dalam Pilpres yang lalu. Ayo, mari kita move on.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang terjadi tanpa izin dari-Nya. Apapun yang terjadi di masa depan, Dialah yang menentukan, bukan kita manusia.
Saya tidak berambisi mempertahankan jabatan Ketua Umum PWI Pusat untuk kepentingan pribadi dengan segala cara, meskipun periode saya sesuai hasil Kongres PWI 2023 adalah hingga September 2028.
Saya ikhlas menerima takdir-Nya. Namun, saya tidak suka jika organisasi profesi yang besar ini dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki agenda politik. Terlebih lagi, didukung oleh bandar melalui antek-anteknya yang mengaku sebagai wartawan profesional. (*)