MITRAPOL.com, Sulut – Pertambangan emas ilegal yang ramai diperbincangkan publik saat ini dinilai sebagai salah satu contoh lemahnya fungsi pengawasan dan pengaturan pemerintah dalam tata kelola pertambangan dalam negeri.
Pengamat Hukum Pertambangan Wahyu Nugroho menyebutkan, maraknya pertambangan ilegal tersebut diperparah saat pemerintah pusat melimpahkan kewenangan perizinan tambang batu dan pasir yang merupakan mineral non logam kepada pemerintah daerah dan pemerintah provinsi, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) nomor 55 tahun 2022 tentang Pendelegasian pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Menurut Wahyu Nugroho, padahal kegiatan penambangan ilegal ini termasuk tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU Minerba yang menyatakan bahwa kegiatan penambangan tanpa izin dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Dengan adanya UU tersebut sudah jelas adanya tindak pidana bagi para pelaku penambang illegal yang sengaja mengabaikan atau meremehkan UU yang dibuat oleh pemerintah.
Namun juga tak dapat dipungkiri, yang namanya ilegal itu tentu menggiurkan untuk mengumpulkan pundi pundi rupiah dari penambangan illegal, aneh yang ada di Alasondan Posolo Ratatotok Mitra ini. Keberadaan tambang aneh tanpa izin ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Alason dan Posolo Ratatotok dan Sulut umumnya.
Tapi sayang seribu kali sayang, UU Minerba itu tidak dipergunakan oleh para pengambil kebijkan di tanah mekar ini untuk menghentikan tambang aneh tanpa izin ini.
Namun juga sangat disesali juga para pengambil kebijakan seolah-olah bungkam dan tutup mata melihat kondisi daerahnya yang diselimuti tambang ilegal yang terus beroperasi dengan menggunakan alat berat yang menggeruk tanah dan bisa merusak ekosistem hutan.
Kami meminta kepada pihak Polda Sulut untuk bisa menindak Pertambangan Emas Ilegal (PETI) di Minahasa Tenggara (Mitra) yang ada di Alason dan Posolo Ratatotok karena aktifitas tersebut sangat meresahkan.
Dengan menggunakan bak rendama batu emas sebesar 60×40 M namun anehnya sampai hari ini belum tersentu hukum dan aman-aman saja ada apa ya..?
Wahyu Nugroho menjelaskan, Lingkungan ini bisa tercemar akibat ulah penjahat pengusaha tambang emas ilegal, sepertinya hingga saat ini sudah bagaikan lingkaran setan. Pengusaha ini tidak bisa disentuh lagi dengan aturan undang-undang di Indonesia.
“Seolah UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup tidak berlaku bagi pengusaha tambang emas ilegal ini,” tegasnya.
Tentunya dalam penambangan itu lanjut dia pasti dilakukan secara sembrono dan tentu akan mengesampingkan kaidah pelestarian lingkungan hidup dan ekosistem yang ada didalamnya.
Hal itu juga sangat berpotensi menimbulkan kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara jika terus menerus dilakukan.
Dikutip dari laman Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Utara, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM Sunindyo Suryo Herdadi mengatakan, PETI adalah kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan masyarakat atau perusahaan tanpa miliki izin.
Sunindyo mengatakan, sering kali, kegiatan PETI di Indonesia juga mengabaikan kewajiban-kewajiban, baik terhadap Negara maupun terhadap masyarakat sekitar.
“Mereka tidak tunduk kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya,” ujar Sunindyo.
Menghadapi PETI, Pemerintah tidak tinggal diam. Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Polhukam, Kementerian ESDM bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Kementerian Dalam Negeri, dan Kepolisian RI, terus bekerja sama untuk mengatasi PETI.
“Upaya yang dilakukan antara lain dengan inventarisasi lokasi PETI, penataan wilayah pertambangan dan dukungan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan oleh Inspektur Tambang, usulan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai usulan Pemerintah Daerah, hingga upaya penegakan hukum,” jelasnya.
Dari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar. Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160.
Di pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.
Dampak Negatif PETI Sementara itu, terkait dampak sosial, Sunindyo mengungkapkan bahwa PETI dapat menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai RTRW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.
“PETI juga berdampak bagi perekonomian negara karena berpotensi menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak. Selain itu, akan memicu kesenjangan ekonomi masyarakat, menimbulkan kelangkaan BBM, dan berpotensi terjadinya kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Pewarta : Chandra