JakartaOpini

Revisi UU Hak Cipta: Pengutipan Karya Jurnalistik Bisa Wajib Bayar Royalti

Admin
×

Revisi UU Hak Cipta: Pengutipan Karya Jurnalistik Bisa Wajib Bayar Royalti

Sebarkan artikel ini
layanancetak.ej@gmail.com
Tundra Meliala — Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI)

Oleh : Tundra Meliala — Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI)

MITRAPOL.com, Jakarta — Selama puluhan tahun, jurnalis, akademisi, hingga pegiat media sosial di Indonesia hidup dengan satu pemahaman sederhana: asal menyebutkan sumber, mengutip karya jurnalistik adalah sah dan gratis. Prinsip ini telah menjadi semacam “hukum alam” di ruang redaksi dan kampus. Namun, wacana revisi Undang-Undang Hak Cipta mulai menggoyang prinsip lama ini: ke depan, mengutip karya jurnalistik bisa berarti membayar royalti.

Revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (yang sebelumnya bernomor 19 Tahun 2002) tengah digodok Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Gagasan utamanya adalah pengakuan karya jurnalistik sebagai karya intelektual bernilai ekonomi. Artinya, berita, foto, video liputan, atau laporan investigasi bukan hanya sekadar informasi publik, melainkan hasil kerja profesional yang patut mendapat imbalan finansial saat digunakan ulang secara komersial.

“Ini bentuk penghargaan terhadap jurnalis yang karyanya diambil pihak lain, terutama karya investigasi dan eksklusif,” ujar Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas.

Dari Etika ke Ekonomi

Selama ini, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memberi kelonggaran untuk pengutipan berita aktual dari kantor berita, lembaga penyiaran, atau surat kabar asal sumber disebutkan lengkap. Etika jurnalistik juga memperkuat hal itu: cukup menyebut sumber, asalkan tidak menjiplak secara utuh.

Namun, ekosistem media digital berubah cepat. Klik dan algoritma kini menentukan nilai ekonomi sebuah karya jurnalistik. Banyak karya media dikutip, disalin, atau dipotong oleh berbagai platform tanpa kompensasi apa pun. Akibatnya, potensi pendapatan media pun menyusut drastis.

Menurut Reuters Institute for the Study of Journalism, 57% pembaca di Indonesia mengakses berita melalui agregator atau media sosial — bukan dari situs media asal. Akibatnya, pendapatan media turun hingga 30% dalam lima tahun terakhir.

Di tengah tekanan ini, ide pembayaran royalti menjadi masuk akal — bahkan mendesak.

Dunia Sudah Bergerak Lebih Dulu

Praktik royalti jurnalistik bukan hal baru di dunia internasional.

Uni Eropa: EU Copyright Directive 2019 memberi hak ekonomi kepada penerbit berita atas penggunaan karya mereka oleh platform digital seperti Google News dan Facebook.

Prancis & Australia: mewajibkan perusahaan teknologi membayar royalti kepada media lokal.

Amerika Serikat: hak cipta karya jurnalistik dilindungi hingga 70 tahun setelah kematian pencipta.

Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Pakistan: menerapkan perlindungan 50 tahun dan skema royalti untuk penggunaan komersial.

“Kalau kita ambil foto dari media luar negeri tanpa izin, bisa langsung ditagih dalam dolar,” ujar seorang dosen jurnalistik di Yogyakarta.

Revisi UU dan Tantangan Kebebasan Pers

Meski penting, penerapan royalti jurnalistik tidak sesederhana itu.
UU Pers saat ini menyebutkan pengutipan cukup dengan mencantumkan sumber. Bila sistem royalti diterapkan, aturan ini harus diperluas atau diubah agar tidak berbenturan dengan kebebasan pers dan hak publik atas informasi.

Dewan Pers, Lembaga Bantuan Hukum Pers, dan Asosiasi Media Konvergensi Indonesia menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses revisi. Pengalaman revisi UU Penyiaran menjadi pelajaran penting: draf yang tidak transparan bisa mengancam kemerdekaan pers.

Revisi ini harus melibatkan jurnalis, media, dan masyarakat sipil agar adil dan proporsional. Perlindungan hak cipta tidak boleh berubah menjadi alat pembatasan informasi.

Dari Penghargaan ke Keseimbangan

Royalti karya jurnalistik bukan untuk membatasi akses publik, tetapi untuk mengembalikan nilai intelektual dan ekonomi yang selama ini diabaikan. Dunia digital memungkinkan karya berita disalin, disebarkan, dan dimonetisasi oleh pihak ketiga, sering kali tanpa memberi keuntungan bagi pembuatnya.

Jika revisi UU ini dijalankan secara transparan dan partisipatif, Indonesia akan memasuki era penghargaan yang adil bagi jurnalis dan industri media.

Mengutip bukan lagi hanya soal etika, tetapi juga keadilan ekonomi. Sebab, di balik setiap berita, ada kerja keras, waktu, dan keberanian yang patut dihargai lebih dari sekadar tautan.